Pancasila bukanlah “Way of Life”

             Setiap negara butuh landasan dalam bergerak, butuh pijakan untuk melangkah, butuh karakter untuk tetap hidup selayaknya manusia yang butuh prinsip dalam mengarungi setiap jejak hidupnya. Sebelum Juni 1945 negeri ini tidak tahu apa prinsipnya ketika bergerak, ketika berjalan, tidak mengerti bagaimana memandang suatu hal bahkan negara Indonesia pun belum memunculkan dirinya ke permukaan. Sampai pada akhirnya the founding fathers menyadari bahwa kita butuh prinsip, kita butuh rel untuk kereta Indonesia yang akan merdeka. Kereta ini akan terus berjalan dan tidak boleh berhenti karenanya yang dibutuhkan adalah prinsip yang tidak akan lekang oleh waktu. Prinsip yang menunjukkan jati diri dan kepribadian Indonesia. Perumusannya pun bukan dilakukan dalam waktu singkat dengan pemikiran dangkal. Pancasila, inilah buah dari pemikiran-pemikiran intelektual pada masa itu. Intelektual yang memahami betul bagaimana Indonesia.
               Ketika filsuf Inggris Lord Russell mengatakan bahwa umat manusia sekarang terbagi dalam dua golongan yakni yang menganut ajaran manifesto komunis dari Karl Marx dan declaration of America dari Thomas Jefferson bukan tidak mungkin the founding fathers kita mencocokannya dengan jati diri bangsa ini. Namun ternyata mereka menyadari bahwa keduanya bukanlah karakter yang tepat untuk negeri yang akan segera memperoleh hak kemerdekannya. Waktu, tenaga, pikiran senantiasa tercurahkan untuk menyusun dan merumuskan (yang seharusnya menjadi) pijakan kita hari ini. Hingga akhirnya pijakan sempurna untuk sebuah negeri yang berhasil merebut kemerdekaanya pun selesai.
               Pancasila, inilah landasan bangsa ini, Bangsa Indonesia. Bukan hanya sebagai landasan melainkan didalamnya terkandung jati diri dan karakter asli bangsa ini beserta manusia-manusia yang ada didalamnya. Lihatlah betapa mulianya pesan-pesan yang terkadung didalamnya. Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hari ini Pancasila sudah lenyap. Pancasila ternyata tidak mampu mengimbangi liberalisme dan komunisme bahkan bertarung secara jantan pun tidak sanggup. Pancasila bukanlah “way of life” bangsa ini lagi. Indonesia memang hari ini masih berdiri namun ia terombang-ambing atau bahkan sudah kritis. Ia lupa akan jati dirinya, ia lupa akan prinsipnya, ia lupa akan kerja keras the founding fathers, ia ternyata tidak mampu memaknai secuil kemuliaan dalam Pancasila. Sadarlah bangunlah dari tidur panjang, ia tidak pernah salah, KITA-lah yang salah. Kita yang lupa akan jati diri bangsanya, kita yang lupa prinsip bangsanya, kita yang melupakan pengorbanan the founding fathers, kita pula yang belum mampu memaknainya. Kita yang lupa akan nasionalisme, yang ada sekarang ialah chauvinisme. Kita yang lupa musyawarah untuk mufakat, yang ada sekarang voting. Kita yang lupa ekomoni kerjasama kemandirian, yang ada sekarang ialah persaingan (ekonomi pasar bebas). Dan kita pula yang lupa akan kekeluargaan dan tolong-menolong, yang ada ialah individualisme dan pamrih. Semua ini bukan jati diri kita, liberal-komunis bukanlah konsepsi bangsa ini. Pancasila-lah jati diri bangsa ini. Pancasila-lah “way of life” bangsa ini dan bukan yang lain. Pancasila kembali adalah harga mati agar Indonesia mampu mengubah selamat malam menjadi selamat pagi serta mampu merasakan kembali fajar yang menyingsing.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONDISI SOSIAL JAKARTA

MELINDUNGI ASET NEGARA DARI PENJAJAHAN

CIBUYUTAN, POTRET PELOSOK NEGERIKU