MELINDUNGI ASET NEGARA DARI PENJAJAHAN

‘MELINDUNGI ASET NEGARA DARI PENJAJAHAN’
Kondisi Indonesia Saat Ini
Banyaknya sumber daya alam yang ada di Indonesia  membuat pihak asing tertarik akan aset yang dimiliki oleh Indonesia. Serta suku budaya yang beragam ini seharusnya mengakibatkan Indonesia mempunyai banyak pontensial untuk menyejahterahkan rakyatnya, tetapi tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 10,4 % dari dari keseluruhan angkatan kerja yang berjumlah 106,3 juta orang. Tingginya angka pengangguran ini ternyata berdampak  terhadap tingginya angka kemiskinan penduduk Indonesia, yang dibuktikan dengan Laporan Bank Dunia terbaru (Media Indonesia/ 11/12/2006) bahwa 100 juta penduduk Indonesia dari total 220 juta hidup di bawah garis kemiskinan.
Sangat ironis bila di negeri yang kaya raya ini rakyatnya justru banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hidup miskin di daerah kaya bukan saja terjadi secara nasional. Kemiskinan justru terjadi di daerah yang kekayaan alamnya sangat melimpah seperti Papua. Bagaimana mungkin penduduk Papua misalnya, banyak yang mengalami busung lapar. Padahal, dengan menyedot kekayaan alam di sana, Freeport mampu meraih total pendapatan US$ 2,3 miliar pada tahun 2004, lalu meningkat menjadi US$ 4,2 miliar pada tahun 2005. Banyak data yang menunjukan kelalaian pemerintah dalam mengurus harta rakyat.  Misalnya, dalam kasus Freeport, Indonesia hanya mendapat royalty sekitar 9,4% ditambah pajak. Padahal, total pendapatan Freeport pada tahun 2005 adalah US$ 4,2 miliar dolar dengan kontrak karya sampai 2041 (kompas, 21/11/2006). Yang sangat ironis terjadi di Kabupaten Jaya Wijaya yang merupakan daerah operasi Freeport yakni 50% penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan dan 35% di antaranya hidup di daerah pembuangan limbah yang penuh dengan zat yang sangat berbahaya. Sementara itu, PT Newmont Nusa Tenggara Batu Hijau mendapat 45% dengan cadangan emas 11,9 juta ons. Sedangkan setoran ke pemerintah hanyalah US$ 35,9 juta setiap tahun. Contoh lainnya adalah Kalimantan Timur yang notabene provinsi terkaya di Indonesia juga mengalami nasib yang tidak jauh beda. Provinsi yang produksi batu baranya sekitar 52 juta meter kubik per tahun (Kompas, 13/07/1003), produksi emasnya pernah mencapai 16,8 ton setahun, peraknya lebih dari 14 ton per tahun, pengahasilan gas alamnya tahun 2006 mencapai 1.650 miliar meter kubik, dan produksi minyak buminya 79,9 juta barel ini justru 2,4 juta penduduknya tergolong penduduk miskin.
Seandainya kekayaan tersebut dikelola langsung oleh negara, tentu keuntungan yang diperoleh jauh lebih banyak dan masalah defisit yang selama ini terus terjadi akan terselesaikan dengan tuntas. Pemerintah pun tidak perlu menaikkan BBM yang telah memiskinkan rakyat. Padahal dengan menaikkan BBM, pemerintah hanya akan mendapat 42 trilyun rupiah dari pengurangan subsidi. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan pendapatan Freeport yang sebesar US$ 4,2 miliar dolar (tahun 2005) ditambah potensi pendapatan Blok Cepu yang berkisar antara US$ 700 hingga 1,2 miliar per tahun.
Pada perkembangan selanjutnya, Indonesia pun menjadi pasar yang sangat potensial bagi produk-produk industri negara maju sehingga arah kebijakan ekonomi Indonesia didorong oleh kekuatan eksternal ke arah liberalisasi dalam genderang perang yang ditabuhkan globalisasi melalui kebijakan-kebijakan pemerintah yang pro-pasar. Bentuknya seperti pembebasan tarif dan penghapusan proteksi, yang salah satu wujudnya dengan menciptakan kawasan perdagangan bebas (Free Trade Zone/FTZ). Saat ini pun Indonesia sedang dipertaruhkan eksistensi produksi dalam negerinya karena kawasan Asia Tenggara dan China tergabung dalam ACFTA (Asean China Free Trade Association). ACFTA ini merupakan organisasi yang menangani masalah perdagangan bebas di kawasan ASEAN dan China. Sejak penandatanganan perjanjian ini produk-produk asing khususnya China sangat membanjiri pasar nasional. Hal ini sangat mengganggu stabilitas pekerja di Indonesia karena Indonesia pun sebenarnya belum siap dengan perdagangan bebas ini. Meskipun menurut harian Kompas, pemerintah segera merevisi dan menata ulang dalam perjanjian ACFTA ini.
Selain itu, pemungutan pajak pun semata-mata hanya ditujukan untuk mendukung anggaran penyelenggara kekuasaan (APBN), bukan untuk memberikan perlindungan terhadap perekonomian nasional. Sementara pembiayaan negara bertumpu pada utang luar negeri, Indonesia tidak merdeka dari lembaga keuangan asing seperti IMF, Bank Dunia, ADB, JBIC maupun korporasi asing. Bahkan Indonesia saat ini mempunyai hutang kepada IMF sebesar ± 1300 trilyun rupiah yang terdiri dari hutang luar negeri dan hutang dalam negeri, yang sampai saat ini pun tidak pernah lunas. Menurut data Bank Indonesia pada tahun 2006 saja Indonesia harus membayar 91,60 trilyun rupiah dimana 28,01 trilyun rupiah untuk pembayaran bunga dan 63,59 trilyun rupiah untuk membayar hutang.  Selain itu, laporan terakhir menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara peminjam terbesar ke-6 di dunia. Indonesia semakin terpuruk dengan hutang yang tidak mampu dibayar dan ketergantungan kepada pihak asing yang sangat besar.
Tentang penanaman modal, dengan anggapan bahwa keberadaan investasi asing di dalam negeri bisa menghasilkan penyerapan tenaga kerja yang tinggi dan memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Namun fakta yang terjadi kemudian sangat jauh dari harapan. Selain tidak mampu mengatasi masalah pengangguran, investasi asing justru menimbulkan persoalan ekonomi jangka panjang yang tidak sederhana, diantaranya adalah besarnya ketergantungan Indonesia terhadap asing dan lenyapnya aset-aset penting negara. Masih banyak aset-aset milik negara sendiri yang masih dikuasai oleh negara asing yang tentunya jika kesemuanya itu dikuasai oleh negara kita sendiri, setidaknya bisa menyelamatkan negara ini dari masalah ekonomi yang berkepanjangan. Kondisi perekonomian Indonesia dewasa ini benar-benar terpuruk; barang sandang pangan mahal; angka pengangguran tinggi; dan banyak aset-aset penting negara yang menjadi hajat hidup orang banyak diprivatisasi. Anggapan bahwa investasi asing di dalam negeri bisa mengahasilkan penyerapan tenaga kerja ternyata salah karena faktanya orang Indonesia pun tetap harus bersaing dengan orang asing yang bekerja di negeri ini. Hampir semua perusahaan asing justru mempekerjakan orang asing dalam jabatan yang cukup tinggi sedangkan orang Indonesia sendiri hanya dijadikan sebagai buruh dengan gaji yang belum tentu layak. Padahal seharusnya semua masyarakat Indonesia bisa hidup makmur dan sejahtera karena begitu banyak kekayaan alam yang kita miliki, yang seharusnya kita bisa memanfaatkan kekayaan yang ada dengan bantuan pemerintah tapi nyatanya justru pemerintah berpihak pada investor asing. Dan faktanya masyarakat Indonesia hanya menjadi buruh di negerinya sendiri.
Sampai kapankah kita harus menjadi kuli di negeri sendiri????????
Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 merupakan salah satu alas an pemerintah untuk melakukan penjualan aset-aset negara melalui berbagai lembaga yang dibentuk untuk itu. Penjualan aset itu mencakup swastanisasi Badan Usaha Milik Negara, yang tidak lagi membatasi kepemilikan negara, yang sepenuhnya dapat dimiliki oleh usaha swasta termasuk kepemilikan asing. Hal ini tentu saja mengancam kelompok masyarakat yang marginal yang selama ini hidup atas usaha negara tersebut.
Tentang aset negara memang sudah seharusnya dikuasai oleh negara seperti UUD 1945 pasal 33 bahwa kekayaan alam (aset) yang menguasai hajat hidup orang banyak (rakyat) dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, sekarang ini tidak demikian adanya, sektor vital, dan menjadi hajat hidup masyarakat dikuasai pihak asing.
Saat itu publik dan ekonom Indonesia sepakat mengecam kebijakan pemerintah menjual saham-saham BUMN seperti PT. Indosat, PT. Telkom, PT. Perusahaan Gas Negara, PT. Semen Gresik, PT. Pembangunan Perumahan, PT. Aneka Tambang, Minyak tanah (PT.Cepu/blok cepu), tambang emas (papua Freeport),  dan perusahaan strategis lainnya. (Sumber : Ditjen Kekayaan Negara, Depkeu RI). Saat ini 70% industri migas Indonesia dikuasai Amerika Serikat. Saat ini pun PT. Indosat telah mutlak dimiliki swasta karena saham kepemilikan negara sudah mencapai ambang bawah penguasa perusahaan yakni 51%. Kepemilikan Indosat yang dikuasai PT Temasek milik pemerintah Singapura, menjadi keprihatinan berbagai kalangan. Karena setiap kendali Indosat yang menguasai pula satelit palapa pada saat ini, ada ditangan Singapura. Ini yang dipandang oleh para tokoh nasional sebagai ancaman bagi pertahanan dan keamanan NKRI. Lepasnya Indosat dipandang merupakan puncak konspirasi anak bangsa dan kesalahan prinsipil yang sangat besar karena BUMN dan satelit palapa adalah aset bangsa yang nilainya tak hanya diukur dengan uang. Masih banyak lagi, aset kita yang sudah berpindah tangan ke pihak asing. Contoh dari sederet aset negara yang saat ini kekayaan alam yang terkandung di dalamnya masih dimanfaatkan oleh negara asing untuk memperkuat ekonominya. Hal ini diperparah dengan munculnya UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang melegitimasi seluruh investor asing untuk membuka investasi sebesar-besarnya di setiap wilayah di Indonesia.
Cara yang dilakukan untuk membeli aset nasional salah satunya adalah membuat kebohongan publik. Contohnya adalah Exxon mobil menyatakan cadangan minyak di Blok Cepu sebesar 781 juta barel dengan kapasitas produksi 165 ribu barel per hari. Dengan demikian, masa eksploitasinya hanya berkisar 11 tahun atau 12 tahun. Namun, pihak Exxon mobil justru memperpanjang kontrak dari 2010 hingga 2030, yang mengindikasikan bawa tentu cadangan minyak jauh lebih besar dari yang dikemukakan.
Dampak yang Ditimbulkan
Banyak sekali permasalahan yang ditimbulkan oleh penanaman modal asing di dalam negeri. Yang pertama adalah dominannya kontrol dari luar negeri, entah itu dari pemerintah investor luar negeri atau dari badan internasional seperti International Monetary Funds (IMF), World Bank (Bank Dunia), dan lain-lain. Kontrol ini seringkali sangat merugikan rakyat, baik dari segi politik maupun ekonomi. Karena kebijakan-kebijakan yang diambil dalam bidang ekonomi akan selalu dikontrol oleh mereka. Contohnya adalah ekonomi Indonesia saat ini sangat dikontrol oleh IMF karena Indonesia menandatangani LOI (Letter of Intents). Kenapa harus menandatanganinya? Ini dikarenakan Indonesia pada saat krisis ekonomi berhutang pada IMF sehingga harus menandatangani LOI. LOI ini berisi berbagai kebijakan yang dipaksakan IMF. Cara yang dilakukan IMF adalah melakukan privatisasi bank-bank nasional dan ini pun disetujui oleh pemerintah.
Yang kedua adalah terkurasnya dan rusaknya sumber daya alam Indonesia (natural resources). Hal ini karena kontrak biasanya diadakan sesuai dengan jumlah cadangan (deposit) di bawah tanah, sehingga ketika kontrak selesai yang tertinggal hanya kerusakan lingkungan.
Pihak Indonesia belum bisa menikmati bagi hasilnya selama biaya yang diminta investor belum terlunasi. Padahal, investor bisa saja berbohong mengenai biaya yang dibelanjakan untuk eksplorasi (recovery cost).
Pertimbangan pemerintah mengeluarkan UU tersebut adalah harapan bahwa adanya investasi asing di Indonesia bisa menyerap banyak tenaga kerja sehingga angka pengangguran terkurangi menjadikan iklim persaingan bisnis dalam negeri semakin kompetitif sehingga pengusaha-pengusaha domestik semakin meningkat daya kompetensinya, dan mendapat keuntungan dari hasil pembukaan investasi tersebut. Namun ternyata, investasi asing justru tidak mengurangi angka pengangguran, karena investor asing cenderung mengurusi pertambangan yang notabene hanya membutuhkan sedikit pekerja. Banyaknya investasi asing di Indonesia menyebabkan aset negara ini terjual satu-persatu ke pihak asing. Akibatnya, negara semakin terlilit utang dan bergantung pad asing dan rakyat semakin tidak sejahtera.
Solusi yang Diberikan
Pancasila harus tetap menjadi landasan moral ekonomi kita, dalam Pasal 33 UUD 1945 dijelaskan bahwa kesejahteraan masyarakat harus terus dipertahankan dan itu tanggung jawab kita bersama. Terutama bagi yang peduli martabat bangsa dan peduli pada kesejahteraan rakyat. Pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi: (1) ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.” Dalam ayat tiga ditegaskan lagi bahwa, ”Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kedua ayat konstitusi ini perlu ditegaskan kembali sebagai tolak ukur pembangunan ekonomi kita dewasa ini.
Negara-negara lain sudah sadar akan pentingnya mempertahankan aset negara dengan cara men-nasionalisasikan perusahaan-perusahaan yang menguasai hajat hidup masyarakat negaranya. Dalam penataan dan pengelolaan aset negara yang lebih tertib, akuntabel, dan transparan kedepannya, Pengelolaan aset negara yang professional dan modern dengan mengedepankan good governance and clean goverment diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan pengelolaan keuangan negara dari masyarakat/ stake-holder.
Negara harus mengoptimalkan tiga fungsinya, yaitu: fungsi alokatif, fungsi distribuif, dan fungsi stabilitatif. Fungsi alokatif adalah negara mengalokasikan anggarannya dengan tujuan untuk menyediakan secara memadai barang-barang (kepemilikan) publik kepada masyarakat. Tanggungjawab penyediaan barang-barang publik ini diserahkan kepada negara karena negara tidak akan pernah membiarkan sumber daya alam dimiliki individu, apalagi dijual kepada pihak asing. Semua bahan tambang yang strategis dan vital maupun yang tidak vital dikelola negara dengan sebaik-baiknya. Negara harus menyelenggarakan manajemen yang baik, termasuk dengan mempersiapkan sumber daya manusia dan tenaga ahli dari dalam negeri yang cakap dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Negara dapat mengadakan pelatihan dan studi keahlian, jika perlu dengan melibatkan pihak luar yang dinilai layak, dengan dana yang disediakan negara. Negara juga dapat melakukan transfer teknologi jika memang benar-benar akan menghasilkan optimalisasi pemenuhan kebutuhan publik. Fungsi distributif ditujukan untuk mensirkulasikan kekayaan negara kepada semua anggota masyarakat dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang. Keseimbangan ekonomi (economic equilibrium) menjadi paradigma negara dalam melayani rakyatnya. Jika ada ancaman maka negara menyuplai individu yang tidak sanggup memenuhi kebutuhannya. Sumbernya diambil dari harta yang diperoleh dari harta milik publik. Dengan begitu, tidak akan terjadi kasus kelangkaan bahan bakar, penimbunan, dan kemiskinan. Adapun melalui fungsi stabilitatif, negara melakukan tindakan-tindakan antisipatif terhadap instabilitas ekonomi. Dalam hal ini, ancaman dan intervensi asing tidak akan ditoleransi oleh negara. Dengan potensi sumber daya alam yang luar biasa besar dan kemandirian ekonomi negara, maka ancaman sabotase dan boikot ekonomi oleh pihak asing tidak akan berarti apa-apa. Perekonomian yang kuat akan menjadikan negara mampu membiayai infrastruktur pertahanan dan keamanan negara hingga perlengakapan industri dan militer yang mendukungnya. Dengan begitu, negara tidak akan gentar sedikit pun terhadap ancaman invasi militer pihak asing.
Pemerintah tidak perlu gentar melakukan perombakan kepemilikan. Kekayaan alam Indonesia adalah milik negara Indonesia dan diperuntukkan untuk semua masyarakat Indonesia. Karena itu, sudah selayaknya ia kembali ke pangakuan bangsa Indonesia. Pemerintah seharusnya berani mengambil sikap untuk mengembalikan aset-aset rakyat yang telah terjual dan menegosiasi ulang kontrak yang sudah ditandatangani serta pemerintah tidak boleh berpihak pada keuntungan pihak asing dan mengabaikan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam mengembalikan hak-hak rakyat, pemerintah bisa belajar dari keberanian Hugo Chaves sebagai Presiden Venezuela yang menasionalisasi aset-aset negaranya yang sebelumnya dimiliki para investor asing. Meski sempat digulingkan pada tahun 2002 selama tiga hari oleh para pengusaha minyak, namun ia berhasil bangkit dengan menguasai Petroleos d Venezuel, perusahaan minyak negara itu dari tangan para konglomerat minyak. Tak lama kemudian, ia menggunakan keuntungan dari penjualan minyak tersebut untuk subsidi pangan, pendidikan gratis di universitas, bantuan pada para janda yang punya anak, serta tunjangan kesehatan (Kompas, 4/12/2006). Masyarakat juga hendaknya kritis terhadap kebijakan pemerintah dan proaktif mengontrol kinerja pemerintah dan menyuarakan aspirasinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONDISI SOSIAL JAKARTA

CIBUYUTAN, POTRET PELOSOK NEGERIKU