CIBUYUTAN, POTRET PELOSOK NEGERIKU


CIBUYUTAN, POTRET PELOSOK NEGERIKU
Cibuyutan, sebuah kampung di daerah Bogor yang hanya berjarak 80 km dari Jakarta. Banyak yang berpikiran jika kampung tersebut tidaklah se-pelosok kampung-kampung di luar Jawa hanya karena letaknya masih di daerah Bogor yang kita pun sudah sama-sama tahu bahwa kota Bogor menjadi pilihan tempat berlibur. Tapi tahukah Anda jika Cibuyutan memiliki kondisi yang sama dengan kampung-kampung di pelosok negeri nan jauh disana? Akses untuk kesana pun cukup sulit padahal di kota mereka sibuk dengan pembangunan-pembangunan jalan yang merupakan proyek menguntungkan untuk mereka.
Ketika kita saat ini sudah sangat merasakan betapa mudahnya akses informasi apapun karena perkembangan teknologi sudah menjadi sahabat yang tidak terlupakan di dalam kehidupan kita. Ataupun kita yang saat ini bisa menjadi apa yang kita mau tanpa adanya penghalang hingga seolah-olah dunia ini milik kita. Kondisi yang terbalik justru selalu hadir di Cibuyutan yang selalu hidup dengan semua kesederhanaan bahkan sangat sederhana dari yang kita kira. Saat kita sudah memiliki kehidupan yang terang benderang, mereka justru masih dalam keadaan gelap gulita. Ketika gemerlap lampu-lampu kota mampu menerangi malam yang sunyi, di Cibuyutan hanyalah secerca cahaya lilin yang menembus kelamnya malam hari atau bahkan hanya cahaya hati yang menerangi Cibuyutan di malam hari. Listrik seolah menjadi barang yang sungguh sangat tidak mungkin dimiliki.
Bahkan ketika sekolah-sekolah sudah sangat bertebaran, di Cibuyutan hanya ada satu sekolah tingkat SD. Sekolah itu adalah MI Miftahussolah. Sekolah itu menurut saya sangat tidak layak untuk disebut sekolah. Satu-satunya sekolah yang seperti warung karena suka buka tutup. Bukan karena sekolah itu tidak mau merelakan dirinya untuk disinggahi oleh anak-anak Cibuyutan untuk bersekolah namun dikarenakan sekolah tersebut bergantung hanya pada seorang guru yang juga merangkap sebagai kepala sekolah sekaligus orang yang mengurusi bidang administrasi. Tahukah anak-anak Cibuyutan kalau pendidikan yang harus diselenggarakan adalah 9 tahun? Saya rasa tidak, kalaupun mereka tahu mereka pasti menuntut hak mereka sebagai putra-putri Indonesia. Mereka berhak (sangat berhak) untuk cerdas. Keterbatasan fasilitas pendidikan bukan berarti menunjukkan bahwa Cibuyutan tidak memiliki harapan ataupun bintang kecil. Kampung itu akan selalu hidup dan hidup karena akan selalu lahir bintang-bintang kecil yang siap untuk menggapai asa dan impiannya, akan selalu hadir lentera-lentera kecil yang selalu menerangi relung jiwa Cibuyutan.
Negeri ini adalah negeriku, negerimu, dan negeri mereka. Indonesia ini adalah negaraku, negaramu, dan tentu negara mereka. Ketika melihat dan merasakan kondisi Cibuyutan sangat tidak adil rasanya melihat ketimpangan yang ada, melihat betapa mereka sangat tenang menjalani kehidupan yang orang kebanyakan pun tidak sanggup untuk menjalaninya. Jangan salahkan mereka ketika mereka bersikap acuh tak acuh terhadap pemimpinnya, toh siapapun pemimpinnya hingga saat ini belum mampu menunaikan kewajibannya sebagai pemimpin. Cibuyutan, potret pelosok negeri ini yang sungguh nyata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONDISI SOSIAL JAKARTA

MELINDUNGI ASET NEGARA DARI PENJAJAHAN