KENAIKAN BBM DENGAN KEBIJAKAN ‘ABSURD’ PEMERINTAH


KENAIKAN BBM DENGAN KEBIJAKAN ‘ABSURD’ PEMERINTAH
BBM kembali akan dinaikkan oleh pemerintah terhitung 1 April mendatang dengan kisaran kenaikan sebesar 1000-2000 rupiah. Alasannya adalah kondisi geopolitik antara Iran dan Amerika Serikat (terkait proyek nuklir yang dikembangkan Iran) yang memanas sejak Desember 2011. Iran yang memiliki Selat Hormuz sebagai jalur minyak utama memblokir jalur tersebut sehingga pasokan minyak ke Eropa dan Asia berkurang dan terhambat, pasalnya selat ini menyalurkan minyak sebanyak 17 juta barrel/hari. Kondisi ini menyebabkan harga minyak dunia melambung mencapai 115-120 US$/barrel. Pemerintah Indonesia menekankan perlunya menaikkan harga BBM, mengingat dalam UU No. 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 yang mematok harga minyak sebesar 90 US$/barrel sedangkan faktanya saat ini harga minyak dunia sudah mencapai 115 US$/barrel. Pemerintah menganggap perlu untuk menaikkan harga BBM karena jika tidak dinaikkan maka APBN akan tersedot hanya untuk subsidi BBM dan bukan tidak mungkin anggaran lainnya pun tersedot pula, ditambah lagi defisit APBN tahun ini akan menjadi semakin lebar jika BBM tidak dinaikkan. Faktanya adalah yang menyedot APBN kita bukanlah subsidi BBM melainkan pembayaran utang negeri ini, subsidi BBM hanya 3,13% dari APBN atau sebesar 45 triliun sedangkan pembayaran utang menyedot 22,4% dari APBN atau sebesar 321 triliun.
Hari ini pun menolak kenaikan BBM atau menerima kenaikan BBM sama saja, sama-sama menyengsarakan rakyat. Kenapa? Individu-individu yang hari ini menolak kenaikan BBM landasannya sangat jelas yakni pasal 33 UUD 1945 yang mengatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (ayat 1), cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (ayat 2), bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (ayat 3).  Jika melihat UU No. 22 Tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi maka UU ini tentu saja bertolak belakang dengan UUD 1945. Yang intinya dari individu-individu yang menolak kenaikan BBM adalah nasionalisasi aset bangsa. Permasalahannya adalah kita membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menasionalisasi aset bangsa (merubah UU yang bertentangan dengan UUD 1945 satu-persatu, melawan korporat asing di meja internasional, dan lain-lain), sedangkan saat ini kita butuh kebijakan yang komprehensif untuk mengatasi masalah defisit APBN secara cepat dan tepat. Karena jika kita tidak menaikkan harga BBM maka defisit APBN akan semakin lebar dan tersedotnya anggaran lain (seperti, anggaran pendidikan dan kesehatan) pun semakin besar, dan bukan tidak mungkin kalau Indonesia harus berhutang kembali pada lembaga internasional macam IMF atau world bank untuk mengatasi kondisi demikian. Kita pun sama-sama tidak mau ada letter of intents selanjutnya yang akan memaksakan Indonesia untuk memprivatisasi aset-asetnya. Jika hal ini terjadi akan membuat negeri ini semakin susah keluar dari ‘lingkaran setan’ korporat asing. Lagi-lagi rakyat menjadi korban. Jika bisa digambarkan maka seperti ini
Sedangkan individu-individu yang menerima kenaikan BBM ini pun mempunyai dilema tersendiri yakni tidak bisa dihindarkan bahwa rakyat lagi-lagi menjadi korban karena harus menanggung biaya hidup yang tentu saja mencapai eskalasinya. Hal ini sangat mungkin karena kenaikan BBM selalu menyebabkan efek domino terhadap kenaikan harga barang-barang disekitarnya, termasuk kenaikan TDL (Tarif Dasar Listrik) yang tidak bisa dihindarkan. Belum lagi ketika BBM naik maka Pertamina selaku BUMN harus bersaing dengan korporat asing seperti Shell, Petronas, dan lain-lain untuk menarik konsumen membeli bahan bakar di SPBU-nya. Lagi-lagi kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kita “belum merdeka” atas negeri kita sendiri. Dan lagi-lagi NASIONALISASI ASET BANGSA menjadi harga mati yang harus terus digalakkan untuk keluar dari zona korporatokrat. Jika digambarkan maka seperti ini
Melihat penjelasan diatas seperti apapun solusi yang ditawarkan sebagai problem solving akan selalu dibenturkan pada kenyataan bahwa kuncinya adalah nasionalisasi aset bangsa dan pilihan yang diambil pun merupakan pilihan yang berat dan bukan tanpa resiko menyakiti rakyat. Namun saya pikir yang lebih baik adalah menyetujui kenaikan BBM “dengan syarat” tentunya. Maksudnya syarat disini adalah biaya penghematan yang dihasilkan dialokasikan ke bidang-bidang yang lebih komprehensif, berantai, dan berkelanjutan. Misalnya, ketika BBM naik maka TDL pun naik. Hal ini dikarenakan PLN masih menggunakan solar untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat Indonesia, dimana cost menggunakan solar sebesar Rp.4000-an/KWH sedangkan jika memakai gas cost-nya hanya sebesar Rp.570/KWH seperti disampaikan oleh Danny Setiawan (praktisi ekonomi) dalam seminar nasional “urgensi kenaikan BBM”. Atau misalnya uang penghematan BBM bisa digunakan untuk membuat infrastruktur geothermal untuk PLN mengingat Indonesia memiliki 40-50% panas bumi yang ada di dunia, sedangkan baru digunakan sekitar 4% untuk pemenuhan kebutuhan listrik. Keuntungan lainnya adalah energi geothermal bisa diperbaharui dan ramah lingkungan. Seandainya uang penghematan tersebut digunakan untuk membuat infrastruktur pemakaian gas atau geothermal pada PLN maka Indonesia bisa menghemat APBN lagi karena otomatis biaya yang ditanggung negara dalam hal pemenuhan kebutuhan listrik berkurang setiap tahunnya, tentu ini bisa merkelanjutan dan penghematan subsidi lidtrik pun bisa dialokasikan ke bidang lainnya. Atau dengan membuat jalan tol. Atau infrastuktur lainnya misalnya membuat infrastruktur yang menunjang ekonomi mikro sehingga mereka bisa tetap bertahan. Karena ketika BBM dinaikkan maka masyarakat yang mendapat langsung dampaknya adalah masyarakat dengan ekonomi mikro. Akan menjadi lebih baik serta APBN mendapat penghematan lagi apabila anggaran belanja negara dipangkas, bagaimana menurut kalian wahai pemerintah ‘inlander’? Beranikah kalian berkorban untuk kami?
Namun kenyataannya adalah ketika pemerintah menaikkan BBM justru solusi yang ditawarkan adalah BLT (Bantuan Langsung Tunai) pada tahun 2008, sekarang BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat). Seharusnya pemerintah tidak memberikan umpannya tetapi memberikan kailnya. BLSM akan terus membuat masyarakat bergantung pada pemerintah, sedangkan BLSM sendiri hanya akan digulirkan selama 9 bulan. Lagipula BLSM tidak berguna karena uang Rp.150000/bulan tidak berarti karena bahan kebutuhan juga merangkak naik. Dan tidak semua orang miskin mendapatkan haknya dalam BLT pada tahun 2008. Solusi BLSM ini pun merupakan solusi yang politis, mengapa? Karena BLSM dianggap pencitraan yang sedang dilakukan SBY, seperti pada tahun 2008 dimana saat BBM dinaikkan pada pemerintahan SBY sebesar Rp.1500 dan di tahun 2009 (Pemilu 2009) pemerintahan SBY menurunkan harga BBM ke keadaan sebelum dinaikkan dan membuat rakyat kembali memilih SBY. Tentu saja ini merupakan akibat dari rakyat Indonesia yang belum ‘melek’ politik. Kita semua menyadari bahwa sudah tidak mungkin SBY kembali berada dalam tampuk kekuasaan karena sudah 2 periode, namun bukan tidak mungkin orang yang SBY usung dan memiliki mental ‘inlader’ seperti dirinya memenangkan pemilu 2014. Hal inilah yang ditakutkan terjadi karena bisa jadi ketika menjelang pemilu 2014 justru pemerintah SBY kembali menurunkan harga BBM yang sebenarnya kita sudah mampu bertahan dengan harga yang ada. Lagi-lagi rakyat menjadi objek kebodohan politik.

Inilah Indonesia dengan Kebijakan “Absurd-nya” dalam Mengatasi Kenaikan BBM

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONDISI SOSIAL JAKARTA

MELINDUNGI ASET NEGARA DARI PENJAJAHAN

CIBUYUTAN, POTRET PELOSOK NEGERIKU