Negara Adidaya Itu Bernama INDONESIA
Negara Adidaya Itu Bernama INDONESIA
Gelap, semakin gelap, tidak ada
lilin apalagi lampu. Bahkan lampu-lampu harapan hilang satu-persatu. Raut muka
mereka awalnya semakin memerah namun pada akhirnya menghitam jua. Yang
tertinggal kini hanyalah harapan kosong. Optimisme telah berubah menjadi
pesimisme. Tidak ada lagi yang menggantungkan harapan setinggi langit, yang ada
hanyalah mampu menyambung hidup saja sudah cukup. Awalnya berharap perubahan
akan datang namun perubahan bagai punuk merindukan bulan. Silahkan lontarkan
berbagai pertanyaan pada mereka, jangan heran jika pesimisme-lah yang mereka
hantarkan pada kalian.
Hingga pada akhirnya kalian heran
sendiri mengapa bisa sampai seperti ini dan bertanya dalam diri ‘tidak adakah
dari mereka yang masih menyimpan optimisme diri?’. Kalian masih yakin bahwa
kalian akan menemukan seonggok daging (baca:
manusia) yang masih yakin perubahan baik akan datang. Lagi-lagi kalian
masih yakin akan adanya manusia yang memiliki motivasi diri perubahan yang terjadi memang belum tentu
menghasilkan suatu kebaikan namun jika ingin lebih baik maka sesuatu harus
berubah.
Hingga suatu hari kalian temukan
seorang anak yang belum dewasa juga tidak belia sedang berbaring di halaman
rumput yang luas. Matanya memandang jauh menembus hamparan langit yang
terbentang luas. Kalian penasaran apa yang anak itu pikirkan, mengapa matanya
tidak hanya jauh memandang langit namun bersinar layaknya melihat gunung emas
di hadapannya. Kalian singkap rasa penasaran itu dengan percakapan yang tak
terduga. Hingga kalian temukan kembali secerca optimisme diri, hingga kalian
yakin perubahan akan segera datang, perubahan baik tentunya.
Anak manusia itu jelaskan betapa
bangganya ia menjadi anak Indonesia. Menurutnya, ia adalah 1 dari ±240 juta
orang yang paling beruntung bisa lahir di negeri ini. Indonesia adalah negara
maritim sekaligus agraris. Disaat semua orang mempertanyakan masalah ketahanan
pangan maka Indonesia dengan santai menanggapinya. Pangan utama kita miliki,
julukan swasembada beras kita gapai. Pangan-pangan pendukung pun kita punya.
Berbagai macam ikan kita miliki dari sabang smapai merauke. Bangsa kita juga
senang dengan pekerjaan berternak. Bumbu (baca
: rempah-rempah) kita miliki. Ingatkah dulu pada masa kerajaan ataupun
kolonial yang banyak dicari pengembara adalah rempah-rempah negeri ini!
Kebutuhan lengkap perut ada di negeri ini, 4 sehat 5 sempurna ada disini.
Tempat tinggal? Kenapa takut tidak punya tempat tinggal? Kita punya banyak
lahan bahkan banyak pulau hingga julukan negara kepulauan terbanyak pun ada di
pundak. Model-model rumah pun sangat beragam sangat estetika sangat menjunjung
kebudayaan. Coba lihat di tiap daerah pasti rumahnya menunjukkan kebudayaan
daerah masing-masing. Pakaian, gaya berbicara, tradisi, bahkan lagu permainan
ataupun lagu daerahnya saja bermacam-macam. Negara dengan suku terbanyak pun
ada disini. Mulai dari pangan sampai papan sudah kita miliki semua.
Anak itu pun menjelaskan bagaimana
kayanya Indonesia dalam hal materi, bagaimana tidak gunung emas nan jauh di
Papua sana kita miliki. Keluarga bahan tambang lainnya pun sangat berlimpah.
Minyak dan gas bumi pun kita punya. Matanya masih menerawang jauh dan semakin
menampakkan binarnya. Dia katakan ‘kalian tahu betapa bangganya aku menjadi
anak Indonesia, kalian tahu betapa bahagianya aku terlahir jadi putra bangsa
ini’. Sampai pada akhirnya suaranya melemah dan menyadari bahwa semua kebahagiaannya
akan negeri ini sedang dikuasai orang lain yang bukan Indonesian. Nadanya mungkin melemah namun binar optimisme dari
matanya tak jua pudar. Ritmenya kembali seperti awal bertemu, sedang binar
matanya justru semakin memancarkan cahaya terang. Ia katakana ‘hari ini memang
banyak hal yang negeriku miliki sedang dikuasai orang bahkan dirampas secara
halus, namun aku yakin suatu hari nanti semua yang mereka rampas, semua yang
mereka kuasai akan kembali kepada yang berhak. Aku yakin akan nada masa dimana
orang-orang akan bangkit memperjuangkan kembali negerinya, meski aku tidak tahu
kapan itu terjadi. Aku yakin kegelapan ini akan berakhir dengan cahaya kecil
yang membesar. Lagi-lagi aku tidak tahu kapan. Diri ini masih yakin suatu hari
nanti negara adidaya akan muncul, bukan Amerika tapi INDONESIA. Ya suatu hari
nanti’. Kalian pun pergi meninggalkan anak itu. Ketika pergi pun anak itu belum
berhenti memandang hamparan langit biru. Kalian berdiskusi hingga pada
kesimpulan bahwa kalian pun harus mempunyai rasa optimisme negeri ini mampu
keluar dari zona bahaya. Kalian pun sadar bahwa NEGERI ADIDAYA ITU BERNAMA
INDONESIA.
Komentar
Posting Komentar