SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL : BENARKAH UNTUK MENCERDASKAN BANGSA ?
SISTEM
PENDIDIKAN NASIONAL : BENARKAH UNTUK MENCERDASKAN BANGSA ?
2.1 Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan adalah pilar utama berdirinya
sebuah bangsa. Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha untuk merancang masa
depan umat manusia sebagai generasi yang memajukan sebuah bangsa. Dalam konsep
dan implentasi pendidikan harus memperhitungkan berbagai faktor. Konsep pendidikan harus disesuaikan dengan keinginan, ukuran,
mental, budaya, sosial, ekonomi, dan politik sebuah kelompok masyarakat yang
bersangkutan.
Tidak mudah untuk memberikan suatu definisi yang memadai
mengenai sistem pendidikan nasional. Konsep sistem pendidikan nasional akan
tergantung pada konsep tentang sistem, konsep tentang pendidikan, dan konsep
tentang pendidikan nasional. Perlu pula disadari bahwa konsep mengenai
pendidikan dan sistem pendidikan nasional tidak bisa semata-mata disimpulkan
dari praktek pelaksanaan pendidikan yang terjadi sehari-hari di lapangan,
melainkan harus dilihat dari segi konsepsi atau ide dasar yang melandasinya
seperti yang biasanya tersurat dan juga tersirat dalam Undang-Undang Dasar
1945, undang-undang pendidikan, dan peraturan-peraturan lain mengenai
pendidikan dan pengajaran. UU No. 4 Tahun 1950 yang merupakan undang-undang
pendidikan dan pengajaran pertama sesudah masa kemerdekaan tidak memberikan
definisi tentang konsep pendidikan, konsep pendidikan nasional, maupun konsep
sistem pendidikan nasional. Hanya saja, dalam kata pembukanya yang ditulis oleh
Muh. Yamin selaku Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan pada waktu
itu, dikemukakan bahwa pendidikan nasional merupakan landasan pembangunan masyarakat
nasional, yaitu masyarakat yang berkesusilaan nasional. Oleh karena itu, sistem
pendidikan dan pengajaran lama secara berangsur-angsur harus digantikan dengan
sistem pendidikan dan pengajaran nasional yang demokratis. Memang dapat
dimak1umi, bahwa pada masa-masa itu konsep dan gagasan pendidikan nasional
merupakan reaksi dari sistem pendidikan kolonial yang bersifat diskriminatif
dan elitis. Pengertian yang lebih jelas mengenai pendidikan nasional dan sistem
pendidikan nasional terdapat di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam undang-undang ini pendidikan didefinisikan sebagai “Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara” (Pasal 1, ayat 1). Pendidikan nasional didefinisikan sebagai “Pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan zaman (pasal 1 ayat 2). Sedangkan yang dimaksud dengan sistem
pendidikan nasional adalah “Keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait
secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional” (pasal 1 ayat 3).
Jadi dengan demikian, sistem pendidikan nasional dapat dianggap sebagai
jaringan satuan-satuan pendidikan yang dihimpun secara terpadu dan dikerahkan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2.2 Perkembangan Sistem Pendidikan pada Masa Orde
Lama
Perkembangan
pendidikan sejak kemerdekaan bangsa Indonesia memberikan gambaran yang penuh
pada kesulitan. Pada masa ini, usaha penting dari pemerintah Indonesia adalah tokoh pendidik yang telah berjasa
dalam zaman kolonial menjadi menteri pengajaran. Dalam kongres pendidikan, menteri
pengajaran dan pendidikan tersebut membentuk panitia perancang RUU mengenai
pendidikan dan pengajaran. Hal ini dimaksudkan untuk membentuk sebuah sistem
pendidikan yang berlandaskan pada ideologi bangsa. Praktek pendidikan sejak
Indonesia merdeka sampai tahun 1965 banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan
Belanda. Praktek pendidikan zaman kolonial Belanda ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan penduduk pribumi secepat-cepatnya melalui pendidikan
barat. Diharapkan
praktek pendidikan barat ini bisa mempersiapkan kaum pribumi menjadi kelas
menengah baru yang mampu menjabat sebagai ‘pangreh praja’. Praktek pendidikan
ini tetap menunjukkan diskriminasi antara anak pejabat dengan anak kebanyakan.
Kesempatan luas tetap saja diperoleh anak-anak lapisan atas. Dengan demikian,
sesungguhnya tujuan pendidikan adalah demi kepentingan penjajah untuk dapat
melangsungkan penjajahannya, yakni menciptakan tenaga kerja yang bisa
menjalankan tugas-tugas penjajah dalam mengeksploitasi sumber daya alam
Indonesia. Di samping itu, dengan pendidikan model barat diharapkan muncul kaum
pribumi yang berbudaya barat sehingga tersisih dari kehidupan masyarakat
kebanyakan.
Sedangkan pada pendudukan Jepang meski
hanya 3,5 tahun, namun bagi dunia pendidikan Indonesia memiliki arti yang signifikan.
Sebab lewat pendidikan Jepang-lah sistem pendidikan disatukan. Tidak ada lagi
pendidikan bagi orang asing dengan pengantar Bahasa Belanda. Satu sistem
pendidikan nasional tersebut diteruskan sampai Bangsa Indonesia berhasil
merebut kemerdekaan dari tangan Belanda. Pemerintah Indonesia berupaya
melaksanakan pendidikan nasional yang berlandaskan pada budaya bangsa sendiri.
Tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan warga negara yang sosial,
demokratis, cakap dan bertanggung jawab, dan siap sedia menyumbangkan tenaga
dan pikiran untuk negara. Praktek pendidikan selepas penjajahan menekankan
pengembangan jiwa patriotisme. Pada masa ini, lingkungan terasa mendominasi
praktek pendidikan. Upaya membangkitkan patriotisme dan nasionalisme terasa
berlebihan sehingga menurunkan kualitas pendidikan itu sendiri.
Kamudian
pendidikan orde lama di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang
bebas terhadap pendidikan. Konsep pemerintahan Soekarno yang berasaskan
sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan
dijalankan dengan sedemikian rupa demi pembangunan dan kemajuan bangsa
Indonesia di masa mendatang. Konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan
prinsip dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa
memandang kelas sosial apapun, apakah mereka berasal dari kelas atas, menengah
atau bawah. Indonesia di era Soekarno merupakan negara yang sarat dengan
cita-cita sosialisme. Indonesia pada era ini sangat mendukung pendidikan
sebagai suatu alat akselerasi masyarakat menuju masyarakat yang adil dan makmur
sesuai dengan cita-cita UUD 1945. Indonesia bahkan mampu mengekspor guru ke negara
tetangga, menyekolahkan ribuan mahasiswa ke luar negeri dan menyebarkan
mahasiswa-mahasiswa ke seluruh penjuru negeri untuk mengatasi buta huruf. Tahun
1960-an terjadi peningkatan yang luar biasa karena banyaknya perguruan tinggi
dan ini sekaligus berarti juga mengindikasikan peningkatan jumlah mahasiswa dan
pelajar di seluruh negeri. Tenaga-tenaga pengajar di upah dengan layak, bahkan
menjadi primadona pekerjaan bagi rakyat. Semangat antikolonialisme setelah
lepas dari kolonialisme, yaitu Belanda dan Jepang, dipropagandakan dengan
membangun semangat sosialisme, termasuk dalam hal pendidikan. Tidak ada
halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di perguruan tinggi
atau sekolah. Diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialis. Sehingga pada
masa ini semua masyarakat diusahakan untuk merasakan bangku pendidikan. Ini
terlihat dari pendidikan yang digratiskan dan uang SPP sama sekali ditiadakan,
walapun pada masa ini keadaannya masih sangat terbatas. Pada saat ini Indonesia
dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD
1945. Indonesia juga merumuskan Undang Undang Pendidikan No. 4 Tahun 1950 jo
Undang- Undang No. 12 Tahun 1954 untuk mengatur sistem pendidikan nasional.
Bila mengamati UU Sisdiknas ini maka pendidikan merupakan sebuah alat
melepaskan bangsa saat itu dari lubang kebodohan. Artinya, pasca kemerdekaan
pemerintah memiliki sikap tegas dan komitmen politik sangat tinggi untuk
mengubah pola pikir masyarakat dari berpikir keterjajahan menuju kemerdekaan. Sistem
pendidikan nasional yang digunakan masih model yang lama yakni model kolonial.
Bagusnya sistem kolonial, guru-guru yang mengajar dituntut untuk berorientasi
pada idealismenya sebagai ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ dan bukan pada
kepentingan materi. Hasilnya, para siswa dan guru sama-sama dituntut untuk
menerapkan disiplin tinggi tanpa harus meninggalkan kualitas hasil didikan yang
bermutu. Kebijakan yang diambil pada orde lama dalam bidang pendidikan tinggi
yaitu mendirikan universitas di setiap provinsi. Kebijakan ini bertujuan untuk
lebih memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Pada waktu itu
pendidikan tinggi yang bermutu terdapat di Pulau Jawa seperti UI, IPB, ITB,
Gajah Mada, dan UNAIR. Tujuan awalnya adalah untuk pemerataan kesempatan
belajar bagi semua lapisan masyarakat.
Orde
lama berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas
demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara, termasuk
dalam bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu
cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tidak ada
konspirasi politik terhadap hak setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan
haknya dalam pendidikan. Tidak ada tekanan politik apapun agar masyarakat
Indonesia tidak belajar pendidikan. Justru, terkesan masyarakat wajib dan harus
mendapatkan pendidikan sebagai bagian dari proses menuju kemerdekaan
sesungguhnya. Pada masa ini tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa
dijalankan secara tegas dan konsisten. Namun sayangnya pada akhir era ini
pendidikan kemudian dimasuki oleh politik praktis atau mulai dijadikan
kendaraan politik. Pada masa itu dimulai pendidikan indoktrinasi yaitu
menjadikan pendidikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan orde lama.
Selain
kelebihan-kelebihan yang telah dijelaskan dari sistem pendidikan yang
dijalankan pada masa ini ternyata perkembangan pendidikan pada masa ini juga
memiliki kelemahan yang salah satunya adalah indoktrinasi pada akhir masa ini.
Selain itu, pada masa ini nuansa pendidikan kolonialis masih terasa sebab
Bangsa Indonesia pada masa ini sedang mengalami masa transisi, baik secara
politik, budaya, maupun ekonomi. Meskipun demikian, hal ini tetap menjadi
sebuah prestasi yang cukup membanggakan ketika mampu menggelar pendidikan untuk
bangsa dengan sedemikian progresif. Kendali pemerintahan orde lama di bawah
Soekarno mampu bersikap cepat, tangkas, dan cekatan bagaimana harus melakukan
pembenahan-pembenahan dalam pendidikan, sebab ini merupakan alat meletakkan
landasan dan prinsip hidup bangsa ke depannya.
Jadi, sistem pendidikan nasional pada masa orde lama
masih banyak dipengaruhi oleh sistem pendidikan zaman kolonial. Namun,
pendidikan pada masa orde lama mendapat ruang dan tempat yang cukup cemerlang
bagi pendidikan anak-anak bangsa di negeri ini.
2.3 Perkembangan Sistem Pendidikan pada Masa Orde
Baru
Soekarno lengser dari tampuk kekuasaan dan Soeharto
naik menjadi presiden, maka orde baru mulai melahirkan dan menggelar
kebijakan-kebijakannya, termasuk pula dalam dunia pendidikan. Orde baru
berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam masa ini, dikenal sebagai masa
pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan
dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya Instruksi
Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Akan tetapi Inpres Pendidikan Dasar belum
ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas, tetapi baru meningkatkan
kuantitas.
Selain itu, sistem ujian negara yang disebut
Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) telah berubah menjadi
boomerang, maksudnya adalah EBTANAS dijadikan sebagai penentuan kelulusan siswa
menurut rumus-rumus tertentu. Akhirnya, di tiap-tiap lembaga pendidikan sekolah
berusaha untuk meluluskan siswanya 100%. Hal ini berakibat pada suatu
pembohongan publik dan dirinya sendiri dalam masyarakat. Oleh sebab itu pendidikan
pada masa ini telah dijadikan sebagai indikator palsu mengenai keberhasilan
pemerintah dalam pembangunan. Dalam era pembangunan nasional selama lima
Rencana Pembangunan Lima Tahunan (REPELITA), yang ditekankan ialah pembangunan
ekonomi sebagai salah satu dari trilogi pembangunan. Pada masa ini pembangunan
lebih dipentingkan pada bidang ekonomi sedangkan pada bidang pendidikan justru
mengalami kemerosotan. Dari hasil manipulasi ujian nasional sekolah dasar kemudian
meningkat ke sekolah menengah dan kemudian meningkat ke sekolah menengah
tingkat atas dan selanjutnya berpengaruh pada mutu pendidikan tinggi. Walaupun
pada waktu itu pendidikan tinggi memiliki otonomi dengan mengadakan ujian masuk
melalui UMPTN, tetapi hal tersebut tidak menolong. Pada akhirnya hasil EBTANAS
juga dijadikan indikator penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi. Untuk
meningkatkan mutu pendidikan tinggi maka pendidikan tinggi negeri mulai
mengadakan penelusuran minat dari para siswa SMA yang berpotensi. Cara tersebut
kemudian diikuti oleh pendidikan tinggi lainnya. Cara ini lebih parah lagi
karena manipulasi nilai dan pemalsuan ijazah kelulusan yang justru timbul untuk
mendapatkan popularitas tertinggi bagi lembaga sekolahnya. Akibatnya, kualitas
tidak lagi menjadi sandaran utama. Bagi sebuah lembaga sekolah, akan terlihat
memalukan jika tidak berhasil meluluskan siswanya dalam jumlah banyak daripada
meluluskan siswa yang tidak cerdas. Cara tersebut kemudian diikuti oleh
pendidikan tinggi lainnya.
Di samping perkembangan pendidikan tinggi dengan
usahanya untuk mempertahankan dan meningkatkan mutunya pada masa orde baru
muncul gejala yaitu tumbuhnya perguruan tinggi swasta dalam berbagai bentuk.
Hal ini berdampak pada mutu perguruan semakin menurun. Menjamurnya
universitas-universitas swasta di berbagai daerah hanya menambah jumlah
kuantitas lulusan di Indonesia yang tidak bermutu semakin menumpuk. Mengeruk
keuntungan ekonomis, itulah dasar kepentingannya. Yang jelas, apapun apologi
yang disampaikan pada masa ini guna memajukan pendidikan yang mencerdaskan dan
mencerahkan hanyalah ilusi belaka. Sebab yang terjadi, pendidikan direkayasa
dengan sedemikian rupa demi sebuah pencitraan tertentu.
Demikian juga konsep pendidikan yang
diterapkan di Indonesia yang tidak pernah lepas dari unsur politik dan kebijakan pemerintah. Buktinya adalah pada masa ini
seluruh materi kurikulum pendidikan umum dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga
Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA) sangat kuat mendukung bertahannya ideologi
militerisme. Pelajaran sejarah dan PPKN bukan merupakan kebutuhan kognitif
siswa melainkan kebutuhan penguasa guna melanggengkan pemerintahannya. Bahkan
latihan prajabatan calon guru-guru pegawai negeri sipil tidak di bawah
penanganan para akademisi, peneliti, atau pekerja sosial yang dekat dengan
profesi guru, melainkan dibawah penanganan militer. Kebijakan pemerintah orde baru, sebelum maupun setelahnya
seringkali menganak tirikan pendidikan. Pendidikan mempunyai anggaran paling
kecil dari dana APBD dan sistem pendidikan yang terpusat atau dengan istilah
sentralilasi membuat kualitas pendidikan Indonesia semakin memburuk. Yang lebih
menyedihkan dari kebijakan pemerintahan orde baru terhadap pendidikan adalah sistem doktrinisasi, yaitu sebuah sistem
yang memaksakan paham-paham pemerintahan orde baru agar mengakar pada
anak-anak. Bahkan dari sejak sekolah dasar sampai pada tingkat perguruan tinggi, diwajibkan untuk mengikuti penataran
P4 yang berisi tentang butir-butir Pancasila. Proses doktrinisasi ini tidak
hanya menanamkan paham-paham orde baru, tetapi juga sistem pendidikan masa orde
baru yang menolak segala bentuk budaya asing, baik itu yang mempunyai
nilai baik ataupun mempunyai nilai buruk. Paham orde baru yang membuat kita
takut untuk melangkah lebih maju. Dengan demikian, pendidikan pada masa orde
baru bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, apalagi untuk meningkatkan
sumber daya manusia Indonesia, tetapi malah mengutamakan orientasi politik agar
semua rakyat itu selalu patuh pada setiap kebijakan pemerintah. Bahwa putusan
pemerintah adalah putusan mutlak yang tidak boleh dilanggar. Itulah doktrin
orde baru pada sistem pendidikan Indonesia.
Doktrinisasi pada masa kekuasaan Soeharto ditanamkan dari jenjang sekolah dasar sampai pada tingkat
pendidikan tinggi, pendidikan yang seharusnya mempunyai kebebasan dalam
pemikiran. Pada masa itu, pendidikan diarahkan pada pengembangan militerisme
yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan suasana perang dingin. Semua serba kaku dan berjalan
dalam sistem yang otoriter. Akhirnya, kebijakan pendidikan pada masa orde baru
mengarah pada penyeragaman. Baik cara berpakaian maupun dalam segi pemikiran.
Hal ini menyebabkan generasi bangsa kita adalah generasi yang mandul.
Maksudnya, miskin ide dan takut terkena sanksi dari pemerintah karena semua
tindakan bisa-bisa dianggap subjektif. Tindakan dan kebijakan pemerintah orde baru-lah yang paling benar.
Pada masa ini semua wadah-wadah organisasi baik yang tunggal maupun yang
majemuk dibentuk pada budaya homogen. Bahkan partai politik pun dibatasi. Hanya
tiga partai yang berhak mengikuti pemilu. Bukankah kebijakan ini sudah
melanggar Undang-Undang Dasar 1945. Namun pada waktu itu tak ada yang
berani bicara. Pada masa itu tidak ada lagi perbedaan pendapat sehingga
melahirkan disiplin ilmu yang semu dan melairkan generasi yang latah dan
penakut. Pada masa pemerintahan orde baru pertumbuhan ekonomi tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik,
melainkan bergantung pada utang luar negeri sehingga menghasilkan sistem
pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak produktif.
Pendidikan tidak mempunyai
akuntabilitas sosial karena masyarakat tidak diikutsertakan dalam merancang
sistem pendidikan karena semua serba terpusat. Dengan demikian, pendidikan pada
masa itu mengingkari pluralisme masyarakat sehingga sikap teloransi semakin berkurang, yang
ada adalah sikap egoisme. Yang terjadi adalah pendidikan yang maju hanya di Pulau
Jawa sementara di daerah lain sistem
pendidikannya kurang maju karena kurangnya keberterimaan masyarakat terhadap
sistem pendidikan. Akhirnya, penerapan pendidikan tidak diarahkan pada kualitas
melainkan pada kuantitas. Hal ini menimbulkan peningkatan pengangguran dari
berbagai jenjang. Banyak lulusan, tetapi tidak punya pekerjaan. Pada masa itu
akuntabilitas pendidikan masih sangat rendah.
Selain penyebab gagalnya sistem
pendidikan pada masa orde baru, kesalahpahaman dan kerancuan memaknai kurikulum
hanya sebagai materi pelajaran adalah dua hal yang dituding pula sebagai
penyebab gagalnya sistem pendidikan di negeri ini.
Keadaan yang terjadi pada masa orde
baru adalah lahirnya para kuli karena salah satu tujuan pendidikan orde baru
adalah mendukung pembangunan nasional. Oleh karena itu pendidikan pada masa ini
diarahkan untuk menjadi pekerja. Ketika kondisinya demikian pendidikan pun
bukan lagi melahirkan para terdidik yang siap mengabdi kepada nusa dan bangsa
guna melakukan perubahan, melainkan mereka berada di bawah kendali para
penguasa, pengusaha dan elemen lainnya yang memiliki modal besar. Tidak hanya
itu, pendidikan pada masa ini juga melahirkan kalangan terdidik antirealitas.
Maksudnya adalah para terdidik tidak memiliki kepekaan sosial yang tinggi
karena yang dikejar dalam setelah mendapatkan pendidikan adalah bekerja,
mendapatkan uang, dan melangsungkan kehidupannya masing-masing. Dengan demikian
pendidikan pada masa orde baru melumpuhkan kepekaan sosial. Semua anak didik
hanya diberikan ilmu yang hanya menekankan pada aspek kognitif saja. Mereka
disebut berhasil dalam pendidikan apabila cerdas dan pintar, sedangkan kemapuan
afeksi dan psikomotorik tidak ditanamkan sama sekali. Satu hal yang cukup
mengerikan di bawah kekuasaan orde baru adalah hilangnya kebebasan berpendapat.
Buktinya adalah lahir kebijakan mengenai normalisasi kehidupan kampus/ badan
koordinasi kemahasiswaan (NKK/BKK) di bawah pemerintah langsung. Kebijakan ini
menyebabkan mahasiswa tidak bisa mengembangkan diri karena kegiatan mereka hanya
ke kampus untuk belajar lalu pulang.
Jadi, sistem pendidikan yang
dijalankan pada masa orde baru ini hanyalah untuk kepentingan penguasa saja dan
jauh dari prinsip dan dasar-dasar pendidikan itu sendiri. Sehingga perkembangan
pendidikan pada masa ini mengalami kemerosotan karena penguasa pada masa ini
lebih mementingkan pada pembangunan dan ekonomi saja. Bahkan kebijakan yang
dijalankan pada masa orde baru belum sepenuhnya pada masa reformasi.
2.4 Perkembangan Sistem Pendidikan pada Masa
Reformasi
Salah satu
gerbang utama yang telah memaksa Soeharto sebagai penguasa orde baru lengser
dari tampuk kekuasaan selama 32 tahun adalah peristiwa reformasi yang digelar
tanggal 21 Mei 1998. Hal tersebut pun harus diakui mempengaruhi segala bagian
kehidupan berbangsa di negeri ini, termasuk dalam dunia pendidikan yang juga
mengalami reformasi pendidikan. Kebijakan pendidikan mengalami pembongkaran
besar-besaran. Masa reformasi telah memberikan ruang cukup besar bagi perumusan
kebijakan-kebijakan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner.
Pertanyaannya adalah sejauh mana kebijakan pemerintah dalam bentuk amanat
undang-undang tersebut dijalankan dengan sedemikian konsisten, tegas, dan
konsekuen? Atau bahkan justru kebijakan-kebijakan itulah yang semakin menjerumuskan
pendidikan di negeri ini. Inilah yang menjadi perhatian publik agar sejarah
kelam pendidikan pada masa orde baru tidak terulang kembali di masa reformasi
ini. Sejumlah pengamat, peneliti, praktisi, dan elemen-elemen lain yang peduli
terhadap pendidikan mengatakan bahwa pendidikan di masa reformasi ini berjalan
di tempat. Hal ini ditunjukkan dari berbagai implementasi pendidikan di
lapangan.
Sejak tahun
1998 Indonesia memasuki era transisi dengan tumbuhnya proses demokrasi.
Demokrasi juga telah memasuki dunia pendidikan nasional antara lain dengan
lahirnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengganti
UU No. 2 Tahun 1989. Dalam bidang pendidikan bukan lagi merupakan tanggung
jawab pemerintah pusat tetapi diserahkan kepada tanggung jawab ke pemerintah
daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
hanya beberapa fungsi saja yang tetap berada di tangan pemerintah pusat.
Perubahan dari sistem yang sentralisasi ke desentralisasi akan membawa konsekuensi-konsekuensi
yang jauh di dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Namun, hal ini
merupakan amanat reformasi yakni mewujudkan pendidikan yang berbasis
lokalitas-lokalitas tertentu. Kebijakan pendidikan harus sebangun dengan
kebutuhan dan kepentingan lokal. Desentralisasi dalam dunia pendidikan
merupakan salah satu tema pokok reformasi politik Indonesia pasca pemerintahan
orde baru. Meskipun bidang pendidikan telah menyatakan sistem desentralisasi
pendidikan, namun kenyataannya masih sentralisasi pendidikan. Ini terlihat dari
pengaturan dan penetapan standardisasi pengelolaan baik kurikulum, kompetensi
siswa, penilaian hasil belajar, dan lain-lain. Misalnya dalam penentuan
kelulusan dimana standardisasi kelulusan ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Padahal jika mengacu pada desentralisasi pendidikan yang berarti otonomi di
bidang pendidikan sesuai dengan lokalitas daerah masing-masing maka hal ini
bertolak belakang karena belum tentu semua daerah mempunyai tingkat kemampuan
yang ditetapkan pemerintah sebagai standar kelulusan tanpa memperhatikan
lokalitas daerah yang dimilikinya (tidak sesuai dengan desentralisasi
pendidikan). Contoh lainnya adalah pembuatan kurikulum yang juga diarahkan
kepada daerah-daerah untuk menentukan seberapa besar materi lokal yang akan
diakomodasi dan seberapa banyak materi yang memuat materi nasional pun masih
menjadi cerita yang tidak pernah dibuktikan secara konkret dan praksis.
Artinya, pemerintah belum memberikan kebebasan sepenuhnya untuk mendesain
pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan lokal sehingga ini masih
menunjukkan sentralisasi pendidikan. Menurut Benny Susetyo, keadaan seperti ini
merupakan desentralisasi yang setengah hati karena di lapangan masih terjadi
tarik-menarik antara kewenangan pusat dan daerah. Desentralisasi pendidikan
yang selama ini didengung-dengungkan belum mampu dijalankan secara serius oleh
pemerintah.
Selain
perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi yang membawa banyak perubahan
juga bagaimana untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam menghadapi
persaingan bebas abad ke-21. Kebutuhan ini ditampung dalam UU No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, serta pentingnya tenaga guru dan dosen sebagai ujung
tombak dari reformasi pendidikan nasional. Sistem Pendidikan Nasional masa
reformasi yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 diuraikan dalam
indikator-indikator akan keberhasilan atau kegagalannya, maka lahirlah Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang kemudian
dijelaskan dalam Permendiknas RI. Masalah yang ada terkait kualitas guru dan
dosen di Indonesia adalah guru-guru dan dosen-dosen tidak pernah
distandardisasi setiap tahun sehingga pengetahuan guru dan dosen tersebut
adalah pengetahuan yang kuno. Berbeda halnya pada masa orde lama, Indonesia
bahkan bisa mengekspor tenaga pengajar ke negara tetangga, Malaysia. Ini
menunjukkan bahwa pemerintah pada saat itu sangat memperhatikan kualitas tenaga
pengajar. Sedangkan sekarang justru negara tetangga yang lebih maju. Tenaga
pengajar kita tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan tenaga pengajar dari
Malaysia. Di Malaysia sendiri, semua tenaga pengajar setiap tahun selalu
distandardisasi sehingga kualitasnya pun bisa mengikuti arus dunia. Bahkan
disana tidak tanggung-tanggung, apabila tidak lulus standardisasi maka izin
mengajarnya akan dicabut. Hal ini sangat berbeda dengan di Indonesia, di negara
ini guru yang menjadi PNS justru diberikan gaji yang besar dengan harapan
mereka mampu mendidik penerus bangsa dengan baik karena penghidupan mereka
sudah layak, tidak seperti pada masa orde lama dan orde baru dimana gaji guru
sangat kecil sehingga mereka dijuluki ‘pahlawan tanpa tanda jasa’. Gaji yang
besar ini tidak diimbangi dengan kualitas guru. Pemerintah pun tidak pernah
menstandardisasi mereka sehingga dari segi kualitas guru-guru di Indonesia jauh
tertinggal. Bahkan julukan ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ pun sudah mulai luntur.
Di dalam
masyarakat Indonesia sekarang ini muncul banyak kritikan baik dari praktisi
pendidikan maupun dari kalangan pengamat pendidikan mengenai pendidikan
nasional yang tidak mempunyai arah yang jelas. Dunia pendidikan sekarang ini
bukan merupakan pemersatu bangsa tetapi merupakan suatu ajang pertikaian dan
persemaian manusia-manusia yang berdiri sendiri dalam arti yang sempit,
mementingkan diri, dan kelompok. Menurut H.A.R. Tilaar, hal tersebut disebabkan
adanya dua kekuatan besar yaitu kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Kekuatan
Politik: Pendidikan masuk dalam subordinasi dari kekuatan-kekuatan politik
praktis, yang berarti pendidikan telah dimasukkan ke dalam perebutan kekuasaan
partai-partai politik, untuk kepentingan kekuatan golongannya. Pandangan
politik ditentukan oleh dua paradigma, yaitu paradigma teknologi dan paradigma
ekonomi. Paradigma teknologi mengedepankan pembangunan fisik yang menjamin
kenyaman hidup manusia. Paradigma ekonomi lebih mengedepankan pencapaian
kehidupan modern dalam arti pemenuhan-pemenuhan kehidupan materiil dan
mengesampingkan kebutuhan non materiil duniawi. Contoh pengembangan dana 20%.
Kekuatan Ekonomi: Manusia Indonesia tidak terlepas dari modernisasi seperti
teknologi informasi dan teknologi komunikasi. Neoliberalisme pendidikan membawa
dampak positif dan negatif. Positifnya, yaitu pendidikan menunjang perbaikan
hidup dan nilai negatifnya, yaitu mempersempit tujuan pendidikan atas
pertimbangan efisiensi, produksi, dan menghasilkan manusia-manusia yang dapat
bersaing, yaitu pada profit orientit yang mencari keuntungan sebesar-besarnya
terhadap investasi yang dilaksanakan dalam bidang pendidikan.
Selain itu
terdapat sejumlah kebijakan pendidikan yang telah dilahirkan di masa reformasi
ini, namun masih menjadi sebuah teori belaka yang tidak mampu dijalankan dalam
pendidikan Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut diatur di dalam
undang-undang sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional ini telah
berlangsung hingga saat ini masih cenderung mengeksploitasi pemikiran peserta
didik. Indikator yang dipergunakan pun cenderung menggunakan indikator
kepintaran atau kognitif saja, sehingga secara nilai di dalam rapor maupun
ijazah tidak serta merta menunjukkan peserta didik akan mampu bersaing maupun
bertahan di tengah gencarnya industrialisasi yang berlangsung saat ini.
Pendidikan juga saat ini telah menjadi sebuah industri. Bukan lagi sebagai
sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini mengakibatkan terjadinya
praktek jual-beli gelar, jual-beli ijazah hingga jual-beli nilai. Sadar atau
tidak sadar pendidikan yang hanya mementingkan aspek kognitif ini merupakan
warisan pendidikan pada masa orde baru. Pada masa orde baru penentuan kelulusan
adalah EBTANAS seperti yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, hanya saja
pada masa reformasi ini hanya namanya saja yang berbeda. Hal inilah yang
menyebabkan banyak kegiatan-kegiatan busuk pendidikan seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Namun sayangnya, pemerintah justru tetap mempertahankan
kebijakan ini dengan alasan untuk memetakan pendidikan yang secara basic di
setiap daerah saja sudah berbeda, bagaimana mau disamakan melalui ujian seperti
itu. Data-data menunjukkan bahwa aktivitas pendidikan di Indonesia mengalami variasi
pertumbuhan yang amat mencolok antara pedesaan dan perkotaan. Perbedaan
kecepatan tumbuh pendidikan ini amat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan
penduduk dan tingkat pertumbuhan ekonomi di tiap-tiap wilayah. Wilayah-wilayah
yang kini tumbuh menjadi perkotaan mengalami peningkatan kualitas pendidikan
yang lebih baik dan maju dibandingkan dengan wilayah-wilayah yang hingga saat
ini masih merupakan daerah pedesaan. Perbedaan yang terjadi menjadi amat jauh
antara, misalnya Jakarta dan Kepulauan Seribu atau misalnya antara Bandung dan
Leuwi Damar (Cibeo, Baduy) atau misalnya antara Jakarta dan Papua. Ini
sangatlah tidak adil.
Hal lain
yang juga penting untuk diselesaikan adalah pendidikan yang pilih kasih,
maksudnya adalah pendidikan seharusnya bisa dinikmati seluruh lapisan sosial
masyarakat, namun nyatanya menjadi mahal dan tidak terjangkau sehingga hanya
masyarakat yang mempunyai uang yang banyak saja yang mampu merasakan indahnya
pendidikan. Tahun 2003 telah dilahirkan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan
Nasional melalui UU No. 20 Tahun 2003 yang menggantikan UU No. 2 Tahun 1989.
Tersurat jelas dalam UU tersebut bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu
menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan
efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan
perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan
pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Bila
merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan dan pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga
negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Dan
dalam UU No. 20 tahun 2003 pasal 5, bahwa setiap warga negara mempunyai hak
yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak
memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang
serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus,
warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak mendapat
kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Sebenarnya sudah cukup
peraturan-peraturan di atas benar-benar diterapkan dalam pendidikan di
Indonesia bahwa pendidikan haruslah untuk semua. Seperti yang disampaikan oleh
UNESCO bahwa ‘education for all’.
Belum lagi kurikulum
yang selalu berganti di setiap pemerintahan. Seolah-olah pendidikan menjadi
sebuah kelinci percobaan dari penguasa yang sedang memimpin pemerintahan. Tidak
ada kebijakan politik yang tegas dan kuat, konsep pendidikan seperti apa dan
yang mana yang paling tepat digunakan untuk menjadikan pendidikan benar-benar
alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan menjadi tumbal dan korban
kepentingan para penguasa yang terus berupaya untuk mencoba-coba semua konsep
pendidikan yang sedang menjadi trend di dunia. Para pelajar hanya digunakan
sebagai kelinci percobaan sistem pendidikan yang baru, dengan selalu
mengganti-ganti sistem kurikulum mulai dari kurikulum 1994 sampai dengan sistem
KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) sampai baru-baru ini muncul KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan). Ini menjadi sebuah permasalahan besar karena
buku yang dipakai sebagai pegangan pelajar sehari-hari selalu berganti-ganti.
Tidak hanya itu pergantian kurikulum juga tidak diimbangi dengan mengatasi
masalah-masalah yang timbul pada kurikulum sebelumnya sehingga masalah-masalah
yang sebenarnya fundamental tidak tertangani.
Masih banyak kebijakan-kebijakan
yang dijalankan pemerintah sekarang yang menimbulkan banyak kontroversi serta
salah sasaran. Yang pertama adalah dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Dana
ini seharusnya lebih menekankan pada pengembangan sekolah-sekolah yang masih
jauh dari standar. Namun kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa justru
sekolah-sekolah yang sudah standar dan mewah yang mendapatkan dana BOS yang
besar. Ini sangatlah tidak sesuai dengan namanya ‘dana Bantuan Operasional
Sekolah’. Wajar saja bila sekolah yang keadaannya dibawah standar mancapai
88,8% (Kompas.com) dari jumlah sekolah yang ada. Belum lagi dana BOS itu
sendiri dipolitisasi. Maksudnya adalah dana BOS baru bisa dicairkan jika APBD
daerah sudah disepakati dan ditandatangani. Contohnya adalah pemerintah pusat
memerintahkan bahwa pencairan dana BOS paling lambat tanggal 15 Maret 2011.
Namun nyatanya hanya 219 kabupaten/kota dari 497
kabupaten/kota di Indonesia yang sudah menyalurkan dana BOS. Artinya masih ada
278 kabupaten/kota yang belum menyalurkan dana BOS (Kompas.com). Salah satu
kota yang telat mencairkan dana BOS karena harus menunggu penyelesaian revisi
APBD daerah adalah Jember (Kompas.com). Ini menunjukkan bahwa pendidikan di
masa reformasi ini sarat dengan permainan politik, belum lagi masalah dana BOS
yang dikorupsi oleh para pejabat negara maupun pejabat daerah. Kebijakan lain
yang juga salah pengertian adalah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional). Kebijakan ini justru membuat jarak antara si kaya dan si
miskin, sehingga namanya pun berganti menjadi RSBI (Rintihan Sekolah Berarif
Internasional). Pemerintah yang notabenenya membuat UU No. 20 Tahun 2003
sendiri telah salah dalam memaknainya. Pemerintah memaknai salah satu isinya
dengan membuat RSBI, padahal maksudnya bukanlah seperti itu. Lagi pula
Indonesia belum siap untuk menyelenggarakan pendidikan yang seperti itu karena
dari segi kemampuan guru dan fasilitas pun belum memadai. Ada sebuah pernyataan
dari seorang duta besar Inggris yang menyatakan bahwa Indonesia telah salah
dalam melangkah, seharusnya Indonesia meng-internasionalisasikan pola pikir
bangsa Indonesia bukan membuat semua pendidikan menjadi berbahasa Inggris.
Indonesia menyadari telah salah langkah akan hal ini, namun tidak
mengembalikannya ke yang seharusnya. Negara Korea contohnya, saat mereka shock
dengan globalisasi mereka langsung mengubah buku-buku yang mulanya berbahasa
Korea menjado berbahasa Inggris. Namun pada akhirnya mereka sadar bahwa mereka
telah salah langkah dan sesegera mungkin mengembalikan pendidikan mereka ke
jalurnya. Ini ditunjukkan dengan menerjemahkan buku-buku dalam berbahasa
Inggris ke dalam Bahasa Korea agar dimengerti para pelajar di Korea. Berbeda
sekali dengan di Indonesia.
Salah satu
penyebab dari masalah-masalah yang terjadi adalah kurangnya dukungan pemerintah
terhadap kebutuhan tempat belajar. Bahkan telah menjadikan tumbuhnya
bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak
mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki
ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah
mimpi. Parahnya lagi, ketika ada inisiatif untuk membangun wadah-wadah
pendidikan alternatif, sebagian besar dipandang sebagai upaya membangun
pemberontakan. Padahal UUD 1945 pasal 31 ayat 4 yang berbunyi, “Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan belanja negara serta pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Harusnya dengan anggaran ini
semua anak bisa menikmati indahnya pendidikan dan fasilitas-fasilitas
pendidikan seharusnya bisa dilengkapi dan diperbaiki. Namun sayangnya, meskipun
pendidikan telah dianggarkan sebesar 20% tetapi anggaran tersebut termasuk gaji
guru sehingga pemanfaatannya tidak maksimal karena anggaran tersebut tersedot
ke dalam gaji guru.
Jadi, pendidikan pada masa reformasi ini secara
teoritis sangat sempurna namun dalam penafsiran dan pengimplementasiannya jauh
dari harapan. Sehingga salah satu tujuan bangsa ini untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa melalui pendidikan sulit terwujud jika pendidikan belum
dikembalikan ke jalur yang seharusnya.
Komentar
Posting Komentar