FISIKA UNDERCOVER

FISIKA UNDERCOVER
‘Fisika Undercover’, sebuah tulisan yang mencoba menguak peristiwa di jurusan fisika yang seharusnya tidak terjadi. Ada banyak peristiwa yang sangat disayangkan bisa terjadi serta membuat saya tersadarkan bahwa birokrasi yang tidak sehat tidak hanya terjadi di pemerintahan besar saja tetapi juga di pemerintahan sekelas jurusan.
Akreditasi. Setiap jurusan dalam suatu universitas tentunya menginginkan akreditasi yang paling baik yakni A. Hal yang sama juga diinginkan oleh semua program studi. Semua orang memandang bahwa program studi dengan akreditasi A merupakan program studi dengan kualitas yang sangat baik. Tetapi haruskah nilai tersebut diraih dengan cara yang tidak sehat? Hal inilah yang terjadi dalam akreditasi program studi pendidikan fisika. Beberapa waktu yang lalu telah dilakukan akreditasi terhadap program studi pendidikan fisika, namun seperti yang telah saya sampaikan bahwa cara yang dilakukan tidak sehat. Mengapa? Karena akreditasi ini seperti sebuah sandiwara yang harus diperankan secara baik. Drama yang harus dilakukan sebagai berikut. Dosen fisika yang bertanggung jawab dalam akreditasi ini memanggil beberapa mahasiswa “pendidikan fisika” dari berbagai angkatan untuk dimintai keterangan terkait program studi ini. Saya memberikan tanda petik pada ‘pendidikan fisika’ karena seharusnya hanya mahasiswa pendidikan fisika saja yang dimintai keterangan, namun kenyataannya terdapat mahasiswa dari program studi fisika yang dimintai keterangan. Ditambah lagi, sebelum mahasiswa memberikan keterangan, mahasiswa-mahasiswa tersebut diarahkan dalam memberikan keterangan terkait prodi ini seperti sutradara yang mengarahkan para pemainnya. Mereka mengatakan bahwa mahasiswa-mahasiswa tersebut harus memberikan keterangan dan tanggapan positif tentang apa saja yang ditanyakan terkait prodi ini. Peristiwa ini membuat mata saya semakin terbuka dan menyadari bahwa kecurangan-kecurangan yang dilakukan pemerintah negeri ini juga terjadi di pemerintahan dalam lingkup kecil seperti jurusan. Sangat disayangkan, ketika seharusnya yang ditingkatkan adalah kualitas di dalam ternyata sebuah huruf mampu menjadikan mereka lupa akan kejujuran. Fakta bahwa saat ini kejujuran mahal harganya ternyata benar.
Jika masalah diatas mengenai prodinya, maka masalah yang coba saya keluarkan sekarang mengenai dosennya. Ketidakjujuran pada program studi terjadi pada akreditasi prodi tersebut, maka ketidakjujuran pada dosen terjadi dalam sertifikasi dosen. Sertifikasi dosen berarti dosen diberi penilaian dan penilaian tersebut seharusnya merupakan penilaian yang objektif dan tanpa tekanan. Namun kenyataannya berlawanan, penilaian dilakukan secara subjektif dan ada tekanan halus yang menyerang. Hal ini yang terjadi dalam sertifikasi dosen dalam bagian penilaian mahasiswa yang beberapa hari lalu dilaksanakan. Dalam sertifikasi ini setiap dosen menentukan sendiri mahasiswa yang akan menilainya. Oke, hal tersebut bukanlah sebuah masalah. Namun sebelum mengisi lembar penilaian dosen tersebut memberikan arahan agar mahasiswa tersebut mengisi lembar penilaian dengan angka 4 atau 5, dimana angka 4 menunjukkan kinerja yang baik sedangkan angka 5 menunjukkan kinerja yang sangat baik. Hal ini yang sudah melenceng. Seharusnya mahasiswa tersebut bebas mengisi lembar penilaian tersebut secara objektif dan sesuai dengan apa yang mahasiswa tersebut rasakan dan ketahui. Tekanan halus yang saya maksudkan adalah ketika dosen tersebut memberikan arahan, dosen tersebut mengatakan sesuatu yang kurang lebih seperti ini “saya tau lho kamu ngisinya apa”. Secara tidak langsung pernyataan tersebut menunjukkan sebuah tekanan yang sifatnya halus. Ternyata tidak hanya jurusannya yang tidak sehat tetapi juga individu-individunya (dosennya) yang tidak sehat dan sekali lagi ternyata individu-individu yang tidak sehat juga terdapat di tingkat yang lebih kecil.
Masalah tidak berakhir sampai disini. Ada yang lebih mengerikan lagi yakni ketika profesionalitas harus diadu dengan bayang-bayang materi. Jurusan fisika terdiri dari dua program studi yaitu pendidikan fisika dan fisika. Prodi pendidikan fisika itu sendiri terdiri dari dua kelas yaitu kelas reguler dan kelas non reguler. Seharusnya perbedaan antara kelas reguler dan kelas non reguler terletak pada biaya dan cara penyampaian materi oleh dosen yakni dengan mengunakan Bahasa Inggris, bukan terletak pada nilai. Di angkatan saya yaitu angkatan 2010, permasalahan ini terasa. Kedua kelas ini mendapatkan dosen mata kuliah pengantar teknologi informasi dan Bahasa Indonesia yang sama, namun dari segi pengajarannya berbeda. Pertama, dari mata kuliah pengantar teknologi informasi. Ketika mengawasi kedua kelas ini terlihat perbedaannya. Saat dosen tersebut mengawasi kelas reguler, dosen tersebut benar-benar mengawasi dengan ketat, namun ketika mengawasi kelas non reguler justru berbeda yakni dosen tersebut meninggalkan kelas untuk waktu yang cukup lama. Kedua dari mata kuliah Bahasa Indonesia. Dosen ini jarang masuk ke kelas reguler, sedangkan untuk kelas non reguler hampir selalu masuk. Ada celetukan yang mengatakan bahwa ‘kelas non reguler kan bayarannya lebih mahal’. Jangan salahkan saya jika saya mengeluarkan pernyataan yang cukup ekstrim seperti ini ‘apa harus anak reguler mengeluarkan uang lebih hanya untuk mendapatkan sebuah keadilan?’. Sangat miris ketika melihat profesionalisme dikalahkan oleh materi. Dan sekali lagi (sekali lagi) profesionalisme yang dikalahkan materi ternyata tidak hanya terjadi di pemerintahan negara tetapi juga dalam pemerintahan setingkat jurusan.
Mungkin masih banyak masalah-masalah lainnya yang tidak saya ketahui. Namun cukuplah bagi saya untuk mengetahui bahwa masalah kebobrokan mental ternyata sudah sampai ke lingkup yang lebih kecil lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KONDISI SOSIAL JAKARTA

MELINDUNGI ASET NEGARA DARI PENJAJAHAN

CIBUYUTAN, POTRET PELOSOK NEGERIKU