Diaspora Pendidikan yang Meng-INDONESIA-kan
Bertahun-tahun kita terpuruk dalam sistem pendidikan yang ada.
Setiap berganti pemimpin berganti pula sistem pendidikan yang digunakan. Tak
ayal pertanyaan ‘apakah benar-benar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa?’ pun
muncul ke permukaan. Benarkah semua sistem yang digunakan merupakan egosentris
dari penguasa?
Sejak pengakuan kemerdekaan Indonesia secara de jure, Indonesia belum menemukan formulasi pendidikan yang
sesuai. Terlihat bagaimana kurikulum berubah-ubah dalam waktu yang cukup
singkat, terlebih ketika masa reformasi ini. Hal ini memperlihatkan bagaimana
kebingungan negara ini dalam membangun pendidikannya. Pendidikan seakan-akan
barang yang mudah dibeli dan dijual. Berbeda jauh dengan Jepang yang sudah
mampu mensejajarkan dirinya dengan negara-negara maju di dunia, padahal pada
tahun 1945 Jepang mengalami keterpurukan seperti Indonesia dan harus memulai
lagi dari nol. Perbedaannya adalah ketika memulai Jepang menyadari bahwa ketika
bangsanya ingin maju maka ia harus membangun dasarnya, yakni pendidikan.
Berbeda dengan Jepang yang perkembangan pendidikannya menunjukkan kurva linier,
sementara Indonesia mengalami perkembangan yang fluktuatif.
Pada zaman orde lama pendidikan di Indonesia banyak dipengaruhi
oleh sistem pendidikan Belanda, namun pemerintah pada saat itu berusaha
melaksanakan pendidikan yang berlandaskan budaya bangsa. Ini dikarenakan pada
zaman orde lama Indonesia masih berusaha untuk mencapai kemerdekaan secara de facto sehingga pendidikan yang
diajarkan lebih menekankan pada jiwa patriotisme dan nasionalisme. Dalam
perjalanannya Indonesia merumuskan undang-undang pendidikan pada tahun 1950,
ini merupakan sistem pendidikan nasional pertama di Indonesia. Sehingga pada
masa ini pemerintah orde lama membuat kebijakan mendirikan universitas di
setiap provinsi seperti UI, IPB, ITB, UGM, dan UNAIR. Hal ini ditujukan agar
rakyat memperoleh kesempatan untuk pendidikan tinggi. Namun sayang sekali,
diakhir era ini pendidikan dimasuki politik praktis. Pendidikan menjadi korban
perpolitikan.
Pendidikan lagi-lagi menjadi korban politik praktis pada masa orde
baru. Pendidikan digunakan untuk melanggengkan kekuasaan orde baru. Pada masa
ini pendidikan tidak menonjolkan aspek-aspek kearifan lokal dan budaya bangsa. Hanya
kecerdasan kognitif yang semu. Mengapa dikatakan semu? Karena keberhasilan yang
diboomingkan faktanya justru yang
menghancurkan pendidikan sampai saat ini, EBTANAS (meskipun sekarang dikenal
dengan nama UN). Yang dilahirkan pun hanyalah para kuli yang dipekerjakan di
negerinya sendiri, sesuai dengan tagline
yang diusung ‘pembangunan Indonesia’. Pada orde baru paradigma yang terbangun
adalah egoisme, hanya berdasarkan kepentingan pribadi. Bukan manusianya yang
dibangun melainkan hanya kepalsuan ekonomi yang dibangun. Pada masa ini sistem
pendidikan diperbaharui, namun gagal dijalankan. Tidak hanya gagal dijalankan,
kesalahpahaman dan kerancuan memaknai kurikulum juga menjadi faktor dari
kemunduran pendidikan era ini.
Datangnya masa
reformasi digadang-gadang mampu menjadi pembaharu kehidupan bangsa, termasuk
bidang pendidikan tentunya. Kebijakan bidang pendidikan pun mengalami perubahan
besar-besaran. Reformasi memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan
kebijakan-kebijakan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Pertanyaan
yang muncul adalah sejauh mana kebijakan pemerintah dalam bentuk amanat undang-undang
tersebut dijalankan? Atau bahkan justru kebijakan-kebijakan itulah yang semakin
menjerumuskan pendidikan di negeri ini. Pada era ini sistem pendidikan
diperbaharui menjadi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang dikenal
dengan nama UU Sisdiknas. Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah bidang pendidikan tidak lagi diatur oleh pemerintah pusat melainkan oleh
pemerintah daerah. Perubahan sistem dari sentralisasi menjadi
desentralisasi akan membawa dampak-dampak dalam penyelenggaraan pendidikan
nasional. Namun hal inilah yang merupakan amanat reformasi yakni mewujudkan
pendidikan yang berbasis lokalitas-lokalitas masing-masing daerah. Memang sudah
sepatutnya pendidikan disesuaikan dengan kearifan lokal daerah masing-masing,
karena lagi-lagi Indonesia merupakan bangsa yang majemuk.
Desentralisasi pendidikan merupakan terobosan yang paling baik
secara teori, karena melalui desentralisasi ini pendidikan yang
meng-INDONESIA-kan mampu dibangun. Seperti dalam salah satu tulisan Guru Besar UNJ
Winarno Surakhmad, menurut beliau kebijakan pendidikan yang benar-benar kita
butuhkan sekarang ialah kebijakan pendidikan yang mengutamakan semangat
keindonesiaan dalam memastikan satunya Indonesia melalui desentralisasi dan
otonomisasi yang berarti mengembangkan kekuatan dalam keberagaman. Menurut
beliau yang dibutuhkan adalah kebijakan pendidikan yang meng-INDONESIA-kan.
Namun nyatanya desentralisasi pendidikan hanyalah teori. Lihat bagaimana
kesenjangan pendidikan di setiap daerah, belum lagi tangan-tangan pusat masih
sangat kental dalam pendidikan daerah sehingga ketakutan terjadinya pendidikan
‘kuli’ di negeri ini semakin terlihat dari hari ke hari. Pemikiran anak
dieksploitasi hanya untuk menjadi pekerja, bukan pemimpin. Entah sampai kapan
penjajahan ini berhenti.
Waktu demi waktu reformasi telah bergulir, namun hal mendasar
masih tetap tidak disadari para pemimpin negeri. Jika Jepang, Amerika bahkan
India sudah menyadari bahwa pendidikan merupakan pilar utama kekokohan dan
berdirinya suatu bangsa, hal yang sama justru tidak terjadi di Indonesia.
Padahal pendidikan sebagai pilar utama suatu bangsa sudah pernah disampaikan
oleh K.H.R Zainuddin Fananie dalam bukunya Pedoman Pendidikan Modern, pendidikan
adalah faktor penentu keberhasilan ketika suatu bangsa yang ingin maju. Bahkan
beliau sampaikan sebelum bangsa ini merdeka yakni 1934. Tentunya tidak heran
jika dikatakan bahwa pendidikan menjadi indikator keberhasilan suatu bangsa.
Lihat saja bagaimana negara-negara yang kokoh menjadi penentu peradaban dunia,
hal ini tentu saja tidak lepas dari peran pendidikan yang ditanamkan pada
setiap warganya. Negara-negara maju sudah menemukan pola pandidikan yang sesuai
dengan negaranya. Memang secara konsep dan implementasi pendidikan harus
memperhitungkan berbagai faktor. Budaya, sosial, wilayah daerah, ekonomi,
merupakan faktor yang harus diperhitungkan untuk menerapkan pendidikan yang
sesuai.
Ketika negara lain sudah mapan dalam formulasi pendidikannya,
Indonesia masih berada dalam nostalgia globalisasi. Lagi-lagi sebenarnya
formulasi pendidikan Indonesia sudah ada, namun hanya sebatas tumpukan kertas
saja. Mari kita sesuaikan desentralisasi pendidikan yang ideal menjadi
pendidikan yang meng-INDONESIA-kan.
Indonesia merupakan negara kepulauan, lihat saja sekitar 17 ribu
pulau ada di Indonesia. Tak hanya dikenal dengan negara kepulauan tetapi juga
negara maritim, negara agraris (meski sekarang cukup ironi mendengar Indonesia
harus impor beras). Maka sudah selayaknya pendidikan disesuaikan dengan keadaan
daerah masing-masing. Tak hanya menjaga kebutuhan pangan nasional, menjaga
pulau yang ada di Indonesia tetapi juga melalui pendidikan yang terintegrasi
dengan lokalitas daerah maka pendidikan akan turut andil dalam melanggengkan
kebudayaan daerah tersebut. Maka terlihat jelas bahwa potensi setiap daerah
harus diketahui. Kemudian diintegrasikan melalui pendidikan sejak Taman
Kanak-kanak (TK) sampai pada perguruan tinggi.
Ketika TK sampai SMA lokalitas dan kebudayaan daerah haruslah
masuk kedalam mata pelajaran yang wajib bagi siswa. Pemerintah juga seharusnya aware bahwa pendidikan pra sekolah dalam
hal ini PAUD dan TK penting bagi perkembangan anak. Dan sudah seharusnya
pendidikan usia seperti ini hanya mengedepankan motorik saja karena memang
berdasarkan penelitian seperti itu, tidak seperti sekarang kebanyakan PAUD,
terutama TK sudah mengajarkan carlistung (baca tulis hitung). PAUD dan TK
seharusnya diajarkan, ditanamkan, dan diberikan teladan mengenai sikap.
Diajarkan betapa asyiknya permainan tradisional, diajarkan betapa bangganya
menari tarian tradisional, diceritakan cerita rakyat dan sejarah daerahnya
(dengan bahasa anak-anak tentunya, bisa dengan mendongeng). Ajarkan mereka
lokalitas daerah dengan mengedepankan perkembangan usia mereka, usahakan
memainkan motorik mereka. Mereka mungkin tidak sadar itu kebudayaanya namun
ketika besar kelak mereka akan tahu tujuannya mereka diajarkan seperti itu.
Untuk SMP dan SMA budaya daerah tak hanya menjadi pelajaran wajib
namun juga ekstrakurikuler yang wajib diikuti oleh siswa. Guru yang mengajarkan
pun harus menyesuaikan pelajaran yang diajarkan dengan contoh yang ada di
daerahnya. Misalnya seorang guru Papua tidak sewajarnya memberikan contoh
kereta api kedalam pelajarannya. Mengapa? Karena di Papua tidak terdapat kereta
api sehingga pembelajaran menjadi tidak bermakna dan kontekstual untuk mereka,
maka sesuaikanlah pembelajaran dengan apa yang dilihat, dirasakan, dan terdapat
disekitar siswa.
Sementara untuk pendidikan tinggi harus berdasarkan potensi
daerahnya masing-masing, misalnya Aceh merupakan daerah yang pesisir pantai
maka sewajarnya pendidikan tinggi disana lebih menekankan pada pendidikan
mengenai kelautan. Ajarkanlah mulai dari memanfaatkannya namun tidak
menghancurkannya. Jika di Pulau Jawa dan letaknya ditengah maka pendidikan yang
ada disana seharusnya mengajarkan mengenai pertanian. Dan sudah sepatutnya jika
di setiap provinsi terdapat minimal 1 pendidikan tinggi yang nantinya
mengahasilkan calon-calon guru dan calon-calon dosen (peneliti juga).
PAUD, TK, SD, SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi seharusnya mampu
diselenggarakan pemerintah (red:
negeri semua) sehingga peran pemerintah dan fokus membangun Indonesia melalui
dasarnya yakni pendidikan semakin serius dijalankan. Kualitas pun bisa
dikontrol pemerintah sehingga tidak lagi ada tempat pendidikan swasta yang
hanya menjual ijazah saja. Alangkah lebih baik ketika semuanya negeri dan
berada dalam naungan pemerintah.
Pendidikan bukanlah segalanya, namun segalanya berawal dari pendidikan.
Alangkah indahnya jika dibayangkan. Tak hanya mampu melanggengkan lokalitas
daerah bahkan peradaban dunia bisa jadi dalam genggaman Indonesia. Negara
Adidaya bukan lagi Amerika, tapi INDONESIA.
Inilah pendidikan yang meng-INDONESIAKAN, berbasis pada lokalitas
daerah masing-masing hingga persebarannya seolah-olah menjadi kunang-kunang
yang yang selalu menyinari gelapnya malam. Dan inilah inspirasi bidang
pendidikan yang didapatkan dari Forum Indonesia Muda 14, Kolaborasi Karya untuk
Negeri.
Teruslah
hidup ‘Diaspora pendidikan yang meng-INDONESIA-kan’.
#Tulisan ini juga terdapat didalam Buku Negeri Kunang-Kunang
Komentar
Posting Komentar