Sholihah A. Wahid Hasyim, Dari Tingkat RT/RW Hingga Nasional
Tak banyak orang yang berkecimpung di
bidang sosial. Dan tak banyak pula orang yang memperhatikan lingkungan
sekitarnya di zaman yang katanya lebih baik dari sebelumnya. Hanya segelintir
orang yang peduli dengan lingkungannya masyarakatnya, hanya segelintir orang
yang peduli dengan lingkungan nasionalnya, serta hanya satu dua orang yang
peduli dengan keduanya. Inilah yang dilakukan Sholihah A. Wahid Hasyim, separuh lebih hidupnya didedikasikan untuk
lingkungan masyarakatnya maupun lingkungan nasionalnya. Namanya mungkin asing,
namun kiprahnya cukuplah menjadi pelajaran bagi manusia-manusia yang hidup di
zaman egosentris ini.
Namanya ialah Munawaroh, namun setelah
menikah dengan K.H Wahid Hasyim ia lebih dikenal dengan nama Ibu Sholihah. Neng
Waroh -sapa masa kecilnya- kecil tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
keagamaan yang ketat, pendidikan yang didapatkannya betul-betul tidak jauh dari
pesantren, hal ini wajar saja mengingat ayahnya yang merupakan ulama dan
pendiri pesantren di Denanyar, Jombang. Masa kecil Munawaroh layaknya masa
kecil anak-anak pada umumnya, kenakalan yang dilakukannya juga seperti
anak-anak seusianya. Namun Munawaroh kecil sudah menunjukkan keberaniaan yang
lebih menonjol daripada saudara-saudaranya.
Kegiatannya untuk masyarakat dimulai
ketika ia menikah dengan K.H Wahid Hasyim, ia aktif dalam pengajian-pengajian
masyarakat di Tebu Ireng, Jombang. Kegiatan Munawaroh juga membuka
ranting-ranting Muslimat NU baru, inilah cikal dirinya terjun dalam ranah
sosial dalam sekup nasional. Keterlibatannya di Fujinkai (kala itu masih penjajahan Jepang), membuat dirinya mengenal banyak
kalangan. Kehadiran Munawaroh di Fujinkai memiliki bagian penting, yakni ia
‘mengganti’ Fujinkai. Mulanya Fujinkai merupakan organisasi Jepang yang berisi
perempuan Indonesia yang ‘dimanfaatkan’ pemerintah Jepang untuk mengumpulkan
dana wajib. Hadirnya Munawaroh berhasil mengubah badge Fujinkai menjadi kemuslimatan, kegiatan-kegiatannya diisi
dengan pengajian dan kursus-kursus keperempuanan. Saat Indonesia belum kondusif
pun, ia mendirikan dapur umum bagi para pejuang. Menyelamatkan dokumen-dokumen
penting negara kala itu juga ia lakukan.
Perjuangan dan keorganisasian Munawaroh
dimulai ketika tahun 1953 pasca wafatnya sang suami, K.H Wahid Hasyim. Ia
kemudian berkelut dengan dunia politik melalui NU (Nahdlatul Ulama), ia pun
terpilih menjadi legislator mewakili NU hingga NU melebur menjadi PPP (Partai
Persatuan Pembangunan). Semenjak menjadi legislator, aktivitas Munawaroh
menjadi beragam, mulai dari menjadi anggota pimpinan Muslimat NU Gambir (1950),
ketua Muslimat NU Matraman (1954), ketua Muslimat DKI Jaya (1956), hingga ketua
I pimpinan pusat Muslimat NU sejak 1959.
Jika zaman sekarang lebih banyak legislator
yang tidak menyukai kegiatan sosial ataupun kemasyarakatan, lain halnya dengan
Munawaroh ketika itu. Ia justru tidak terpanggil untuk ‘bermain’ dalam panggung
politik. Keberadaannya di panggung politik justru lebih memperlihatkan sosoknya
sebagai seorang muslimah yang memegang teguh nilai-nilai agama. Hal ini ia
tunjukkan ketika ia walkout dalam sidang
DPR tahun 1978 karena terjadi interpretasi mengenai aliran kepercayaan. Ibu
dari Abdurrahman Wahid ini lebih terpanggil untuk terlibat aktif dalam kegiatan
sosial dan kemasyarakatan. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa aktivitasnya di
Yayasan Dana Bantuan dari tahun 1958 hingga akhir hayatnya,. Ia pun terlibat
dalam pendirian Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI) 1974, ini
dilatarbelakangi atas keprihatinannya kepada para janda pahlawan nasional. Ia
pun turut serta dalam mendirikan dan mengurus Yayasan Bunga Kemboja tahun 1960
yang bergerak di bidang kepengurusan jenazah dan Panti Asuhan Harapan Remaja
tahun 1976 serta berbagai kegiatan sosial dan kemasyarakatan lainnya. Dengan
berbagai kegiatan yang disebutkan bukan berarti Munawaroh tidak peduli lagi
terhadap Muslimat, ia justru menorehkan kemajuan yang pesat di tubuh Muslimat
dengan rumah bersalin Muslimat, BKIA Muslimat, Panti Asuhan Muslimat, Klinik
KB, memberikan beasiswa kepada putera-puteri NU yang terlantar, hingga
kunjungan ke panti-panti sosial lain di daerah.
Munawaroh tak hanya aktif dalam kegiatan
sosial dan kemasyarakatan dalam lingkup nasional tetapi juga di lingkungan sekitarnya.
Isteri dari K.H Wahid Hasyim ini aktif dalam kegiatan dan membimbing organisasi
tingkat kelurahan dan RT/RW yang dalam hal ini seperti PKK di tingkat RT/RW.
Kelompok pengajian Al-Islah juga ia dirikan, kelompok pengajian ini merupakan
kelompok arisan ibu-ibu di tempat tinggalnya. Kebermanfaatannya tak hanya dalam
skala nasional tetapi juga dalam skala dasar, ia membina lingkungan sekitarnya.
Dan sebaik-baik
manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.
(HR Thabrani dan Daruquthni)
Komentar
Posting Komentar